PENDAHULUAN
Untuk memahami
keesaan Allah dalam Alkitab dengan lebih akurat, penting bagi kita untuk
menjalin perbandingan antara pemahaman kita sendiri dengan perspektif orang-orang
Yahudi yang memiliki pengetahuan mendalam tentang teks-teks suci. Bangsa
Israel, sebagai keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub, telah dipilih oleh Tuhan
untuk memegang tanggung jawab penting dalam menjaga dan melestarikan kemurnian
wahyu mengenai Allah yang esa. Dengan demikian, pendekatan yang bijaksana
adalah membandingkan pemahaman kita tentang Kitab Perjanjian Lama dengan
interpretasi yang telah berkembang dalam tradisi Yahudi.
Kita dapat
menggali lebih dalam mengenai berbagai teks klasik dalam tradisi Yudaisme,
masing-masing memiliki peran dan fungsi yang unik dalam membentuk keyakinan
serta praktik keagamaan. Berikut ini adalah beberapa karya penting beserta
latar belakang dan signifikansinya.
1. Taurat
(Pentateukh)
- Penulis: Tradisionalnya, Taurat dianggap
ditulis oleh Nabi Musa.
- Latar Belakang: Taurat terdiri dari lima
kitab pertama dalam Alkitab Ibrani, yaitu Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers,
dan Deuteronomy. Teks ini ditulis dalam periode yang diperkirakan antara abad
ke-13 SM dan ke-5 SM. Dalam konteks sejarah, Taurat muncul sebagai pemandu
moral dan spiritual bagi bangsa Israel di tengah perjalanan mereka sebagai umat
pilihan.
- Fungsi dan Peranan: Sebagai dasar dari
hukum dan ajaran moral bagi umat Israel, Taurat mencakup berbagai narasi
penting, termasuk kisah penciptaan dunia, perbudakan di Mesir, dan pemberian
perintah-perintah Allah di Gunung Sinai. Fungsi Taurat sangat mendasar, menjadi
acuan utama dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks
sosial maupun religius.
2. Talmud
- Penulis: Talmud disusun oleh berbagai
rabbi, dengan kontribusi signifikan dari para pemikir di Babilonia dan
Palestina.
- Latar Belakang: Talmud terdiri dari dua
komponen utama: Mishnah, yang ditulis sekitar 200 M, dan Gemara, komentar
mengenai Mishnah yang disusun hingga sekitar 500 M. Proses penyusunan Talmud
mencerminkan usaha kolektif untuk mendokumentasikan pemikiran rabinik yang
berkembang dalam masyarakat Yahudi.
- Fungsi dan Peranan: Talmud berfungsi
sebagai sumber hukum rabinik dan panduan praktik keagamaan, menjelaskan,
menginterpretasikan, dan menerapkan hukum Taurat dalam konteks kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, Talmud tidak hanya menjadi teks hukum, tetapi
juga merupakan cermin kehidupan sosial, budaya, dan spiritual umat Yahudi.
3. Midrash
- Penulis: Midrash ditulis oleh berbagai
rabbi dan penafsir kitab suci sepanjang sejarah.
- Latar Belakang: Merupakan kumpulan
komentar, penjelasan, dan kisah yang berkaitan dengan teks Alkitab, ditulis
dari abad ke-1 hingga ke-12 M. Midrash berfungsi untuk menjembatani teks suci
dengan pengalaman hidup masyarakat Yahudi, mengaitkan konteks historis dengan
ajaran moral dan spiritual.
- Fungsi dan Peranan: Midrash memberikan
pemahaman yang lebih dalam dan luas tentang teks Alkitab, menjadikan kitab suci
lebih relevan dengan pengalaman sehari-hari serta tradisi lisan yang telah
diwariskan dari generasi ke generasi.
4. Zohar
- Penulis: Zohar secara tradisional
diatribusikan kepada Rabbi Shimon bar Yochai, namun mungkin ditulis oleh Rabbi
Moses de Leon pada abad ke-13.
- Latar Belakang: Zohar muncul sebagai teks
utama dalam tradisi Kabbalah, mistisisme Yahudi, dan pertama kali
dipublikasikan di Spanyol pada akhir abad ke-13. Teks ini mencerminkan
pencarian spiritual yang mendalam mengenai sifat Allah dan hubungan-Nya dengan
manusia dan alam semesta.
- Fungsi dan Peranan: Zohar menyediakan
wawasan yang kompleks mengenai hubungan transendental antara Allah dan
ciptaan-Nya, serta mengeksplorasi berbagai aspek eksistensi dan realitas
spiritual. Ini menjadi sumber inspirasi bagi banyak pemikir dan praktisi
Kabbalah.
5. Sefer
Ha-Aggadah
- Penulis: Disusun oleh Rabbi Hayyim Nahman
Bialik dan Rabbi Yehoshua Hana Rawnitzki.
- Latar Belakang: Diterbitkan pada awal abad
ke-20, Sefer Ha-Aggadah mengumpulkan berbagai kisah, legenda, dan ajaran moral
yang diambil dari Talmud dan sumber lainnya. Karya ini bertujuan untuk
memudahkan akses terhadap ajaran Yudaisme bagi generasi yang lebih baru.
- Fungsi dan Peranan: Dengan menyajikan
kisah-kisah yang menarik dan mendidik, Sefer Ha-Aggadah berfungsi sebagai alat
untuk memperkenalkan nilai-nilai dan ajaran Yudaisme kepada khalayak yang lebih
luas, menjaga warisan budaya dan spiritual umat Yahudi.
6. Mishneh
Torah
- Penulis: Rabbi Moses Maimonides (Rambam).
- Latar Belakang: Ditulis pada abad ke-12 di
Mesir, Mishneh Torah merupakan upaya sistematisasi hukum dan ajaran Yudaisme.
Karya ini berfungsi sebagai panduan komprehensif yang mengorganisir dan
menyusun hukum-hukum dalam satu teks yang mudah diakses.
- Fungsi dan Peranan: Dengan menjelaskan
hukum dan filosofi secara jelas dan terstruktur, Mishneh Torah menjadi sumber
referensi utama bagi praktik Yudaisme dan membantu umat dalam memahami
aspek-aspek hukum dengan lebih baik.
7. Shulchan
Aruch
- Penulis: Rabbi Joseph Caro.
- Latar Belakang: Ditulis pada abad ke-16 di
Safed, Israel, Shulchan Aruch merupakan kode hukum yang diratifikasi oleh
komunitas Yudaisme, mencerminkan konsensus rabinik mengenai praktik keagamaan
yang tepat.
- Fungsi dan Peranan: Sebagai panduan utama
dalam hal hukum dan praktik Yudaisme, Shulchan Aruch tetap berpengaruh di
kalangan orang Yahudi di seluruh dunia hingga saat ini, memberikan pedoman yang
jelas bagi kehidupan sehari-hari umat Yahudi.
Setiap teks
klasik ini memiliki signifikansi yang mendalam dalam membentuk keyakinan,
praktik, dan identitas komunitas Yahudi. Dengan menggali pemahaman dari
teks-teks ini, kita dapat mendapatkan wawasan yang lebih kaya dan mendalam
tentang ajaran keesaan Allah serta bagaimana hal tersebut dihayati dalam
kehidupan sehari-hari umat Yahudi sepanjang sejarah. Jika Anda tertarik untuk
mendalami salah satu topik lebih lanjut, jangan ragu untuk bertanya!
BAB 1
Zaman
Penciptaan (Kejadian 1-11)
A. Penciptaan Dunia
oleh Allah yang Esa
1. Kata
"Elohim" (אֱלֹהִים) dalam Kejadian 1-2
Dalam kitab Kejadian 1:1,
istilah "Elohim" (אֱלֹהִים) digunakan untuk merujuk
pada Allah sebagai Pencipta. Secara etimologis, "Elohim" adalah
bentuk jamak dari "El" atau "Eloah", yang berarti 'Tuhan'
atau 'Allah'. Namun, dalam konteks penciptaan, kata ini digunakan bersama dengan
kata kerja tunggal, sehingga mencerminkan konsep monoteisme yang kuat. Para
rabbi Yahudi memahami penggunaan ini sebagai pluralis maiestatis, di mana
bentuk jamak digunakan untuk menggambarkan kemuliaan dan kekuatan Allah yang
Esa, bukan menunjukkan keberadaan banyak dewa.
Dalam Midrash Bereshit
Rabbah, dinyatakan bahwa penggunaan kata "Elohim" mencerminkan
kekuatan tanpa batas Allah dalam menciptakan alam semesta. Penciptaan ini
dipandang sebagai tindakan eksklusif Allah, tanpa campur tangan makhluk lain.
Rashi, seorang komentator Alkitab terkemuka dari abad pertengahan, menekankan
bahwa istilah "Elohim" mencerminkan otoritas dan kekuasaan Allah
sebagai Hakim yang mahakuasa dan pencipta yang tunggal.
2. Kejadian 1:26-27
dan Penggunaan Kata “Kita”
Dalam Kejadian 1:26-27,
terdapat frasa, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”
(נַעֲשֶׂה אָדָם בְּצַלְמֵנוּ). Frasa ini telah memicu
berbagai perdebatan di kalangan teolog. Sebagian berpendapat bahwa istilah
"Kita" menunjukkan percakapan Allah dengan malaikat-Nya. Namun, dari
perspektif monoteistik, banyak penafsir melihat ini sebagai penggunaan pluralis
maiestatis yang menggambarkan Allah berbicara sebagai Raja yang berdaulat,
menunjukkan kuasa dan kebesaran-Nya.
Rambam (Maimonides), dalam
karyanya Guide for the Perplexed, berpendapat bahwa penggunaan "Kita"
tidak mencerminkan pluralitas dalam esensi ilahi, melainkan merupakan cara
Allah menunjukkan kekuatan kreatif-Nya yang tak terbatas. Targum
Pseudo-Jonathan, sebuah terjemahan Aramaik dari Alkitab Ibrani, mendukung interpretasi
ini dengan menegaskan bahwa meskipun Allah berbicara seolah-olah berdiskusi
dengan malaikat, penciptaan manusia adalah tindakan eksklusif dari Allah.
3. Penggunaan Bahasa
Asli dan Implikasi Teologis
Frasa "Baiklah Kita
menjadikan" diterjemahkan dari bahasa Ibrani נַעֲשֶׂה (na'aseh), yang merupakan
bentuk jamak. Namun, frasa tersebut diikuti oleh kalimat "Maka Allah
menciptakan" (וַיִּבְרָא – vayivra) dalam bentuk tunggal,
yang menegaskan bahwa meskipun Allah menggunakan bentuk jamak saat berbicara,
tindakan penciptaan adalah sepenuhnya dari Allah yang Esa. Ini menunjukkan
bahwa Allah memberi penghormatan kepada ciptaan-Nya, meskipun penciptaan itu
sendiri adalah hak prerogatif-Nya.
Kata Ibrani וַיִּבְרָא (vayivra) dibaca sebagai
"vai-iv-ra" dan berarti "dan Dia menciptakan." Kata ini
berasal dari akar בָּרָא (bara), yang berarti
"menciptakan" atau "membentuk." Dalam konteks Alkitab,
khususnya di dalam Kejadian, istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan
tindakan penciptaan yang dilakukan oleh Allah terhadap alam semesta dan segala
isinya. Penggunaan prefiks וַי menunjukkan bahwa tindakan ini
merupakan bagian dari narasi yang menggambarkan urutan peristiwa penciptaan.
Dalam Talmud Bavli
(Sanhedrin 38b), terdapat diskusi antara para rabbi mengenai penggunaan istilah
"Kita." Banyak rabbi bersepakat bahwa Allah berbicara kepada malaikat
sebagai simbol penghormatan, tetapi penciptaan tetap merupakan tindakan
eksklusif dari Allah.
4. Pendekatan
Semiotik: Simbolisme dalam Penciptaan
Teologi Yahudi juga
menyoroti aspek semiotik dalam kisah penciptaan, yang memperhatikan simbolisme
angka dan bahasa. Penciptaan dalam enam hari melambangkan keteraturan dan
keharmonisan yang mendalam dalam ciptaan Allah yang Esa. Setiap hari
mencerminkan aspek dari keesaan Allah, menunjukkan bahwa segala sesuatu yang
ada berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Allah.
Midrash Pardes, sebuah
metode penafsiran rabbinik yang menggali makna tersembunyi, menyatakan bahwa
penggunaan kata "Elohim" dan istilah "Kita" tidak sekadar
merupakan bahasa kerajaan, tetapi juga mencerminkan kesatuan dan harmoni dalam
tindakan penciptaan itu sendiri.
Ringkasan Pendapat
Rabbi dan Literatur Yahudi Kuno
- Rashi: Menekankan bahwa
penggunaan bentuk jamak adalah tanda kemuliaan dan kebesaran Allah, bukan
pluralitas.
- Maimonides:
Menginterpretasikan "Kita" sebagai cara figuratif untuk menggambarkan
kekuatan Allah dalam penciptaan.
- Midrash Bereshit Rabbah:
Menggambarkan penggunaan "Elohim" sebagai simbol dari kuasa Allah
yang tak terbatas.
- Targum Pseudo-Jonathan:
Menegaskan bahwa penciptaan adalah tindakan eksklusif Allah, meskipun ada
penyebutan malaikat.
- Talmud Bavli (Sanhedrin
38b): Menyatakan bahwa hanya Allah yang melakukan penciptaan.
Jadi, penggunaan kata
"Elohim" dan frasa “Baiklah Kita menjadikan manusia” dalam Kejadian
1-2 dengan jelas menekankan keesaan Allah. Meskipun penggunaan bahasa yang
tampak jamak, tradisi Yahudi monoteis menganggap ini sebagai ungkapan kemuliaan
dan kekuatan Allah yang Esa, bukan pluralitas dalam esensi-Nya. Interpretasi
rabbinik dan teks-teks klasik Yudaisme menegaskan bahwa Allah yang Esa adalah
satu-satunya pencipta yang berkuasa dan tidak ada makhluk lain yang turut serta
dalam proses penciptaan.
B. Pengajaran Keesaan
Allah Setelah Kejatuhan Manusia (Kejadian 3-11)
Setelah peristiwa
kejatuhan manusia dalam taman Eden, tema pemberontakan terhadap Allah yang Esa
menjadi semakin jelas dan signifikan. Dalam konteks ini, kita dapat melihat
bagaimana praktik politeisme mulai muncul dan penyembahan yang benar mengalami
gangguan yang substansial.
1. Pemberontakan
Melalui Kain dan Keturunannya
Setelah kejatuhan, Kain
menjadi simbol pertama dari pemberontakan terhadap Allah. Kain membunuh Habel,
dan peristiwa ini tidak hanya menciptakan perpecahan di antara dua saudara,
tetapi juga menandai awal dari kehampaan spiritual yang lebih besar dalam
masyarakat manusia. Kain, yang dihukum untuk menjadi pengembara, meninggalkan
tanah pertanian dan mulai mendirikan peradaban yang tidak lagi berorientasi
pada penyembahan yang benar kepada Tuhan. Dalam Kejadian 4:16-24, kita
menemukan deskripsi mengenai keturunan Kain, di mana mereka mengembangkan
berbagai aspek peradaban, seperti pertanian, musik, dan teknologi. Namun,
meskipun inovasi ini menguntungkan, mereka juga diwarnai dengan kekerasan dan
tindakan amoral yang semakin meningkat.
Dalam Midrash Tanhuma,
garis keturunan Kain digambarkan sebagai umat yang terpisah dari Tuhan, simbol
dari masyarakat yang menjauh dari jalur kebenaran. Dalam hal ini, Targum
Onkelos menekankan bahwa keturunan Kain tidak hanya meninggalkan penyembahan
yang benar, tetapi juga secara aktif menolak pengakuan terhadap keesaan Allah.
Ini menunjukkan bahwa ketidaktaatan Kain dan keturunannya tidak hanya bersifat
individu, tetapi juga kolektif, menciptakan suatu budaya yang menolak otoritas
ilahi.
2. Pemberontakan
Politeistik dan Hukuman Banjir (Kejadian 6-9)
Seiring dengan pertumbuhan
peradaban yang didirikan oleh keturunan Kain, dosa dan kejahatan semakin
merajalela. Dalam Kejadian 6:5, Allah melihat bahwa kejahatan manusia sangat
besar, dan setiap niat dari hati mereka senantiasa condong kepada kejahatan.
Dalam konteks ini, Allah memutuskan untuk menghukum dunia dengan banjir sebagai
bentuk respons terhadap pemberontakan manusia yang semakin parah. Tindakan ini
mencerminkan keesaan-Nya dan otoritas-Nya sebagai Tuhan yang tidak bisa
diabaikan.
Midrash Bereshit Rabbah
menggarisbawahi bahwa penyembahan berhala dan praktik kekerasan adalah penyebab
utama dari kehancuran umat manusia. Dalam Talmud Bavli (Sanhedrin 108a), rabbi
membahas bagaimana generasi Nuh menolak untuk tunduk kepada Allah, terjerumus
ke dalam penyembahan dewa-dewa palsu dan kepercayaan yang menyimpang. Ini
menunjukkan bahwa bahkan dalam fase peradaban yang lebih maju, manusia tetap
cenderung mengabaikan kebenaran ilahi demi kepuasan diri dan egoisme.
3. Menara Babel dan
Pemberontakan Melalui Penyebaran (Kejadian 11)
Puncak dari pemberontakan
manusia terlihat dalam pembangunan Menara Babel, yang diceritakan dalam
Kejadian 11:1-9. Di sini, manusia berusaha untuk "membuat nama bagi diri
mereka sendiri," yang merupakan manifestasi dari keangkuhan dan keinginan
untuk menantang kekuasaan Allah. Tindakan ini tidak hanya melambangkan ambisi
kolektif untuk mengatasi batasan yang ditetapkan oleh Tuhan, tetapi juga
keinginan untuk mencapai ketuhanan mereka sendiri.
Sebagai respons, Allah
menghukum mereka dengan mengacaukan bahasa mereka, mengakibatkan kebingungan
dan penyebaran manusia ke seluruh penjuru bumi. Rashi mencatat bahwa dosa utama
orang Babel adalah kesombongan, yang membuat mereka berusaha untuk menyaingi
kekuasaan Allah. Dalam pandangan ini, Targum Pseudo-Jonathan menambahkan bahwa
mereka berusaha membangun benteng sebagai upaya untuk melawan Allah, sebuah
tindakan simbolis yang menunjukkan penolakan mereka terhadap otoritas-Nya.
4. Pendekatan Bahasa
Asli dan Simbolisme
Analisis bahasa asli
Ibrani dalam teks ini memberikan wawasan mendalam tentang makna yang terkandung
dalam narasi. Beberapa diksi kunci dapat diidentifikasi:
- הִשְׁחִית (hishhit,
"merusak"): Kata ini menggambarkan kerusakan moral dan spiritual yang
menyelimuti bumi dalam Kejadian 6:11-12, menandakan betapa parahnya keadaan
umat manusia yang telah terjerumus ke dalam dosa.
- שֵׁם (shem, "nama"):
Dalam Kejadian 11:4, ketika manusia menyatakan, “Baiklah kita buat nama bagi
kita,” ini mengindikasikan penolakan mereka untuk tunduk kepada
"Nama" Allah, yang merupakan simbol dari keesaan dan kekuasaan-Nya.
Ini mencerminkan keinginan mereka untuk mendapatkan pengakuan dan kekuasaan, sebuah
tindakan yang menantang otoritas ilahi.
5. Penafsiran
Semiologis dan Teologis
Kisah dalam Kejadian 3-11
menggambarkan secara rinci perpecahan spiritual dan pemberontakan manusia
terhadap Allah yang Esa. Setiap upaya manusia untuk menegaskan kekuasaan mereka
direspons oleh Allah dengan tindakan tegas, seperti banjir dan kebingungan
bahasa di Babel. Respons ini menunjukkan bahwa setiap kali manusia mencoba
menegaskan kemerdekaan mereka dari Allah, konsekuensi yang serius akan
mengikuti, menggarisbawahi kedudukan Allah sebagai penguasa mutlak yang tidak
bisa diabaikan.
6. Pandangan dari
Tradisi Rabbinik
Dalam Talmud Bavli
(Sanhedrin 38b), dijelaskan bagaimana manusia menyimpang dari penyembahan yang
benar setelah kejatuhan, yang menyebabkan kehancuran dunia. Midrash Tanhuma
memperlihatkan bahwa setelah kejatuhan, manusia secara aktif menolak kedaulatan
Allah yang Esa, berusaha untuk mendirikan kekuatan mereka sendiri di luar
rencana dan kehendak Allah. Ini menggambarkan bagaimana ketidaktaatan dan kebangkitan
kesombongan selalu mengarah pada konsekuensi yang merugikan.
Jadi, setelah kejatuhan manusia,
pemberontakan terhadap Allah yang Esa menjadi semakin mencolok, baik melalui
tindakan individu seperti Kain maupun melalui praktik politeisme yang berkembang
dan upaya manusia dalam membangun Menara Babel. Dalam setiap kasus, Allah
menegaskan kembali keesaan-Nya melalui berbagai hukuman, menunjukkan bahwa Dia
adalah satu-satunya penguasa dan pencipta. Tradisi rabbinik serta teks-teks
Yahudi kuno menegaskan bahwa meskipun umat-Nya sering menyimpang dari jalan
penyembahan yang benar, Allah yang Esa tetap setia dan tidak pernah
meninggalkan mereka. Teks-teks ini menggambarkan bahwa meskipun ada
pemberontakan, panggilan untuk kembali kepada penyembahan yang benar kepada
Allah tetap ada, menunggu respons dari umat-Nya.
BAB 2
Memahami Keesaan Allah dalam Tradisi Patriarkh
1. Panggilan
Abraham: Langkah Menuju Monoteisme
Dalam Kejadian
12, kita menyaksikan momen krusial ketika Allah memanggil Abraham (waktu itu dikenal
sebagai Abram) untuk meninggalkan Ur-Kasdim, sebuah wilayah yang dilanda oleh
penyembahan berhala dan keyakinan politeistik. Panggilan ini bukan hanya
sekadar perintah untuk pindah; itu adalah sebuah revolusi spiritual yang
menandai awal dari pengenalan yang mendalam terhadap keesaan Allah. Dalam
konteks masyarakat yang menyembah banyak dewa, tindakan Allah memanggil Abraham
adalah langkah berani untuk mendirikan fondasi monoteisme yang kelak akan
menjadi identitas bangsa Israel.
2. Janji
Allah yang Mengubah Sejarah
Dalam Kejadian
12:1-3, Allah mengaruniakan janji yang mengandung makna yang sangat luas. Janji
tersebut tidak hanya berfokus pada keturunan dan tanah, tetapi juga menyangkut
berkat yang akan menjangkau semua bangsa di bumi. Ini menegaskan posisi Allah
sebagai satu-satunya Tuhan yang berdaulat atas sejarah umat manusia. Melalui
janji-Nya, Allah berusaha membangun komunitas yang setia dan mengakui
keesaan-Nya, sehingga Abraham bukan hanya seorang individu, tetapi menjadi
pendiri suatu bangsa yang akan memuliakan nama Allah di tengah dunia yang
dikelilingi oleh kepercayaan yang salah.
3.
Perjanjian: Simbol Ketaatan dan Komitmen
Dalam Kejadian
17, Allah meneguhkan hubungan-Nya dengan Abraham melalui perjanjian (berit). Di
sini, Allah memperkenalkan nama-Nya sebagai El Shaddai, yang berarti
"Allah Yang Mahakuasa." Nama ini mengandung makna bahwa tidak ada
kekuatan lain yang dapat menandingi kuasa Allah, dan Dia memiliki otoritas
penuh atas seluruh aspek kehidupan, termasuk kelahiran dan kematian. Perjanjian
ini menjadi simbol yang kuat dari hubungan antara Allah dan Abraham, di mana
sunat menjadi tanda fisik yang menunjukkan ketaatan dan komitmen Abraham
beserta keturunannya.
4. Sunat:
Tanda Keterikatan Spiritual
Sunat,
sebagaimana diuraikan dalam Kejadian 17:10-14, bukan hanya sekadar tindakan
fisik, tetapi juga mengandung makna yang dalam. Tindakan ini menandakan bahwa
keturunan Abraham terikat dalam perjanjian dengan Allah yang Esa. Ini merupakan
pengingat berkelanjutan bahwa mereka adalah umat pilihan, yang memiliki
tanggung jawab untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Rashi menekankan bahwa
sunat menunjukkan ketaatan total kepada Allah, yang mengingatkan generasi
selanjutnya akan hubungan istimewa mereka dengan Tuhan yang setia.
5. Keesaan
Allah dalam Kehidupan Patriarkh
Pendidikan
tentang keesaan Allah semakin kuat terlihat dalam kehidupan Abraham, Ishak, dan
Yakub. Ketika Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Ishak sebagai "Allah
Abraham, ayahmu," di Kejadian 26:24, ini menegaskan kesinambungan hubungan
antara Allah dan keturunan Abraham. Yakub, dalam pengalamannya di Betel, juga
menyaksikan penampakan Allah yang memperbarui janji kepada-Nya (Kejadian
28:13-15). Setiap pertemuan ini mencerminkan komitmen Allah untuk menjaga
janji-Nya dan menunjukkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang berdaulat atas
seluruh sejarah.
6. Penggunaan
Nama Ilahi: Simbol Keesaan dan Kekuasaan
Nama-nama ilahi
yang digunakan dalam kehidupan para patriarkh menggarisbawahi keesaan Allah dan
menunjukkan sifat-sifat-Nya yang mahakuasa dan agung. Nama El Shaddai, dalam
konteks janji kepada Abraham, menegaskan bahwa hanya Allah yang Esa yang mampu
menggenapi janji keturunan dan tanah, meskipun tampak mustahil secara
manusiawi. Di sisi lain, nama El-Elyon, "Allah Yang Maha Tinggi,"
yang diucapkan oleh Melkisedek dalam Kejadian 14:18-20, memperkuat pengajaran
monoteisme, menunjukkan bahwa Allah Abraham adalah penguasa tertinggi yang
melampaui segala ilah yang ada.
7.
Tanda-tanda Perjanjian: Simbol Kesetiaan dan Identitas
Tanda perjanjian
seperti sunat berfungsi sebagai simbol yang mendalam tentang komitmen antara
Allah yang Esa dan umat-Nya. Sunat bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga
sebuah penanda identitas spiritual yang menegaskan bahwa keturunan Abraham
berada di bawah otoritas Allah. Dalam konteks ini, sunat menjadi pengingat
bahwa umat Allah harus hidup sesuai dengan ajaran-Nya dan terus menerus
menyaksikan kebenaran keesaan-Nya di tengah dunia yang masih terjebak dalam
keraguan dan penyembahan banyak dewa.
8. Penegasan
dalam Tradisi Rabbinik
Pandangan
rabbinik menekankan pentingnya nama-nama ilahi dan tanda-tanda perjanjian dalam
mengekspresikan keesaan Allah. Midrash Tanhuma mencatat bahwa penggunaan nama
El Shaddai berfokus pada kemampuan Allah untuk mengatur kehidupan dan
kelahiran. Talmud Bavli menggarisbawahi bahwa tanda-tanda perjanjian seperti
sunat menjadi simbol utama dari hubungan antara Allah dan umat-Nya,
mengungkapkan kesetiaan Allah yang mutlak dalam memenuhi janji-Nya.
9. Keesaan
Allah sebagai Landasan Kehidupan Spiritualitas
Keesaan Allah
yang diajarkan melalui pengalaman para patriarkh tidak hanya penting dalam
konteks sejarah, tetapi juga menjadi landasan bagi kehidupan spiritual umat
manusia. Melalui pengenalan akan Allah yang Esa, umat diajak untuk menjalin
hubungan yang lebih dekat dengan-Nya, mengakui bahwa hanya Dia yang berhak
untuk disembah dan diikuti. Dalam dunia modern yang sering kali terpecah oleh
keyakinan yang berbeda, ajaran ini menjadi panggilan untuk kembali kepada
kebenaran fundamental bahwa Allah yang sama yang menuntun Abraham, Ishak, dan
Yakub adalah Allah yang sama yang memanggil kita untuk beriman dan percaya
kepada-Nya hari ini.
Jadi, jelaslah
bahwa ajaran tentang keesaan Allah yang terlihat dalam kisah Abraham, Ishak,
dan Yakub menggambarkan komitmen Allah untuk terlibat dalam sejarah umat
manusia. Panggilan kepada Abraham untuk meninggalkan politeisme, janji yang
diberikan-Nya, serta perjanjian yang dijalin, semuanya menegaskan bahwa hanya
ada satu Tuhan yang layak disembah. Melalui sunat dan pengalaman para
patriarkh, umat diajarkan untuk hidup dalam ketaatan kepada Allah yang Esa,
dengan keyakinan bahwa Dia adalah sumber segala berkat dan pengharapan. Ajaran
ini tidak hanya relevan bagi sejarah umat Israel, tetapi juga bagi setiap orang
yang mencari kebenaran spiritual di dunia yang beragam ini, menegaskan bahwa
keesaan Allah adalah inti dari iman yang sejati.
Theophani
dan Doktrin Keesaan Tuhan dalam Perjanjian Lama
Dalam perjalanan
spiritual umat manusia, salah satu tema yang paling mendalam dan fundamental
adalah keesaan Tuhan. Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, doktrin ini
menggarisbawahi pemahaman bahwa Tuhan bukan hanya satu, tetapi
satu-satunya—sebuah pribadi yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain.
Dalam konteks Perjanjian Lama, keesaan Tuhan tidak hanya diucapkan melalui
pernyataan, tetapi juga diungkapkan melalui pengalaman dan penampakan-Nya yang
dikenal sebagai theophani.
I. Pengantar:
Keesaan Tuhan sebagai Pribadi
Keesaan Tuhan,
sebagaimana ditulis dalam Ulangan 6:4, menekankan bahwa "Tuhan itu Allah
kita, Tuhan itu esa." Pernyataan ini bukan sekadar pengakuan akan jumlah,
melainkan sebuah penegasan bahwa Tuhan adalah satu-satunya entitas yang layak
disembah dan diandalkan. Dalam pemahaman ini, Tuhan adalah pribadi yang unik,
tidak terbagi, dan tidak tergantikan. Setiap penampakan Tuhan dalam Perjanjian
Lama memiliki tujuan untuk menegaskan kedekatan-Nya dengan umat manusia,
memperlihatkan bahwa meskipun Dia adalah Transenden dan Agung, Dia tetap
berinteraksi secara intim dengan ciptaan-Nya.
II. Keesaan
Tuhan dalam Teks-teks Alkitab
Dalam Perjanjian
Lama, konsep keesaan Tuhan sangat ditekankan di berbagai bagian. Misalnya,
Yesaya 43:10 menyatakan, "Kamu adalah saksi-saksiku, demikianlah firman
Tuhan, dan hamba-Ku yang telah Ku pilih, supaya kamu tahu dan percaya kepada-Ku
dan mengerti, bahwa Akulah Dia; sebelum Aku tidak ada Allah yang dibentuk, dan
setelah Aku tidak ada lagi." Ayat ini bukan hanya sebuah deklarasi,
melainkan sebuah panggilan bagi umat untuk mengenali dan memahami eksistensi
Tuhan yang satu dan tidak ada duanya.
Ketika kita
merenungkan teks-teks ini, kita dapat melihat bahwa pengakuan akan keesaan
Tuhan memiliki implikasi yang mendalam bagi kehidupan umat manusia. Ini menggarisbawahi
hubungan yang eksklusif antara Tuhan dan umat-Nya, di mana hanya Dia yang layak
untuk disembah dan diandalkan. Tidak ada entitas lain, tidak ada dewa-dewa lain
yang sebanding, karena Tuhan adalah satu-satunya sumber kehidupan, kebenaran, dan
keadilan.
III.
Theophani: Penampakan Tuhan
Theophani
merupakan istilah yang merujuk pada penampakan Tuhan kepada manusia. Dalam
Perjanjian Lama, ada banyak contoh di mana Tuhan menampakkan diri dengan cara
yang unik dan mendalam. Salah satu contoh paling terkenal adalah ketika Tuhan
berkomunikasi dengan Musa di semak yang menyala. Dalam Keluaran 3:1-6, kita
melihat bagaimana Tuhan memperkenalkan diri-Nya dengan cara yang mencolok.
Semak yang menyala tetapi tidak terbakar melambangkan kehadiran Tuhan yang suci
dan misterius, dan perintah-Nya agar Musa tidak mendekati tempat itu menegaskan
sifat kudus dan agung-Nya.
Pengalaman ini
bukan hanya sekadar penampakan fisik; ini adalah pengungkapan sifat pribadi
Tuhan. Dia berbicara langsung kepada Musa, menunjukkan bahwa Tuhan tidak jauh
dari ciptaan-Nya, tetapi ingin menjalin hubungan yang dekat. Penampakan seperti
ini menegaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang berhak atas perhatian dan
kasih umat manusia.
Simbolisme
ini mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan tidak terikat oleh hukum-hukum alam.
Penampakan ini juga menjadi medium di mana Musa dapat berinteraksi dengan
Tuhan, menunjukkan bahwa meskipun Tuhan adalah Agung, Dia ingin berhubungan
secara langsung dengan umat-Nya. Penampakan Tuhan di Sinai dalam Keluaran 19, di mana
suara-Nya mengguntur dan petir mengelilingi gunung, memperkuat pemahaman bahwa
Tuhan adalah satu-satunya sumber kekuatan dan otoritas. Dalam hal ini,
pengalaman umat Israel menjadi tanda nyata akan kehadiran dan kekuatan Tuhan
yang satu dan tidak terbagi.
Beberapa
contoh signifikan dari theophani dalam Perjanjian Lama antara lain:
1. Kepada Musa
di Semak yang Menyala (Keluaran 3:1-6): Di sinilah Tuhan memperkenalkan
diri-Nya kepada Musa. Semak yang menyala tanpa terbakar melambangkan kehadiran
Tuhan yang suci. Ini adalah salah satu contoh paling terkenal dan penting dalam
sejarah Israel.
2. Penampakan
di Gunung Sinai (Keluaran 19): Di Sinai, Tuhan menampakkan diri dengan
suara yang mengguntur dan petir. Penampakan ini menegaskan kekuatan dan kekudusan-Nya,
serta memberikan hukum kepada bangsa Israel.
3. Dalam Visi
Nabi Yesaya (Yesaya 6:1-5): Dalam penglihatan ini, Yesaya melihat Tuhan
duduk di atas tahta yang tinggi, dikelilingi oleh serafim. Ini adalah
penampakan yang menunjukkan kedalaman kemuliaan Tuhan dan panggilan kepada
nabi.
4. Perjumpaan
dengan Yakub (Kejadian 32:24-30): Yakub bergumul dengan seorang malaikat
(yang sering diinterpretasikan sebagai penampakan Tuhan) dan mendapat berkat
serta nama baru, Israel. Ini menunjukkan interaksi pribadi yang mendalam antara
Tuhan dan hamba-Nya.
5. Penampakan
di Dalam Badai (Ayub 38-41): Dalam buku Ayub, Tuhan menjawab Ayub dari
badai, menunjukkan kuasa dan hikmat-Nya yang tidak terjangkau.
Setelah pengungkapan penuh dalam Yesus Kristus (inkarnasi), penampakan langsung
seperti itu menjadi kurang umum. Dalam tradisi Kristen, penampakan Tuhan
mencapai puncaknya melalui inkarnasi Yesus, di mana Tuhan berkenan hadir dalam
bentuk manusia.
Meskipun theophani dalam bentuk langsung tampaknya tidak lagi terjadi
setelah era Perjanjian Lama, konsep kehadiran Tuhan tetap hidup dalam
pengalaman spiritual umat. Banyak orang percaya bahwa Tuhan tetap berkomunikasi
dengan umat-Nya melalui cara-cara yang lebih halus, seperti inspirasi,
penglihatan, dan pengalaman pribadi.
IV. Keesaan
Tuhan dalam Perspektif Rabbi dan Klasik Yudaisme
Pemikiran
mengenai keesaan Tuhan juga berkembang dalam tradisi rabbinik dan literatur
klasik Yudaisme. Rabbi Maimonides, dalam karya-karyanya, menekankan bahwa Tuhan
adalah satu, tidak terbagi, dan tidak dapat dipahami dengan cara-cara
manusiawi. Menurut Maimonides, theophani bukanlah penampakan Tuhan dalam
pengertian fisik, tetapi lebih sebagai pengalaman spiritual yang mengungkapkan
realitas Tuhan yang lebih tinggi dan tak terjangkau oleh akal manusia.
Talmud, sebagai
kumpulan ajaran dan tradisi, juga mencakup diskusi mendalam tentang bagaimana
Tuhan berinteraksi dengan manusia. Dalam teks-teks ini, para rabbi sering
menegaskan bahwa pengalaman theophani memiliki tujuan untuk memperkuat iman dan
komitmen umat kepada Tuhan yang satu. Ini mencerminkan pandangan bahwa
pengalaman langsung dengan Tuhan, meskipun tidak sering terjadi, memiliki
dampak yang mendalam dalam membentuk identitas spiritual umat.
Dalam mistisisme
Kabbalah, terutama dalam Kitab Zohar, theophani digambarkan dalam konteks yang
lebih mendalam, di mana penampakan Tuhan diinterpretasikan melalui berbagai
tingkat realitas. Ini menunjukkan bahwa meskipun Tuhan satu dan tidak terbagi,
cara-Nya berinteraksi dengan dunia bisa bervariasi, menciptakan kedalaman dalam
pemahaman kita akan kehadiran dan keagungan-Nya.
Doktrin keesaan
Tuhan dalam Perjanjian Lama mengajak kita untuk memahami bahwa Tuhan adalah
satu-satunya pribadi yang berhak untuk disembah, dan pengalaman theophani
memberikan wawasan tentang bagaimana Dia berinteraksi dengan umat manusia.
Setiap penampakan Tuhan menegaskan kehadiran-Nya yang nyata, menunjukkan bahwa
meskipun Dia agung dan transenden, Tuhan juga intim dan dekat dengan
ciptaan-Nya.
Melalui
teks-teks Alkitab dan pandangan para rabbi serta literatur klasik, kita
diingatkan akan pentingnya keesaan Tuhan sebagai sebuah realitas yang tidak
hanya bersifat teologis, tetapi juga praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Keesaan Tuhan, sebagai pribadi yang unik, menantang kita untuk menjalin
hubungan yang mendalam dengan-Nya, mengenali bahwa Dia adalah sumber segala
sesuatu dan tidak ada yang dapat menggantikan-Nya dalam hidup kita.
BAB
4
Pengajaran
Keesaan Allah pada Zaman Musa
A. Penegasan
Keesaan Allah dalam Eksodus
1. Wahyu Keesaan Allah melalui Nama YHWH
Pada era Musa,
pengajaran mengenai keesaan Allah semakin diperjelas dan ditekankan dengan cara
yang lebih mendalam. Ketika Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Musa melalui
semak yang menyala di Gunung Sinai (Keluaran 3:14), Dia menyatakan nama-Nya
sebagai YHWH (יהוה). Dalam konteks ini, Allah
menggunakan ungkapan "Ehyeh Asher Ehyeh" (אֶהְיֶה אֲשֶׁר אֶהְיֶה), yang diterjemahkan menjadi "Aku adalah
Aku." Nama ini mencerminkan sifat kekal dan mandiri dari Allah,
menunjukkan bahwa Dia tidak tergantung pada apa pun di luar diri-Nya.
Dalam pandangan
rabbi klasik, nama YHWH memiliki makna yang sangat dalam. Rashi, misalnya,
menginterpretasikan YHWH sebagai "Aku akan bersama mereka dalam
penderitaan mereka," yang mencerminkan kehadiran Allah yang konsisten dan
tidak berubah. Ini menunjukkan bahwa Allah bukan hanya ada sebagai entitas yang
jauh, tetapi berkomitmen untuk terlibat dalam kehidupan umat-Nya, baik dalam
pembebasan maupun penderitaan. Selain itu, dalam tafsir rabbinik lainnya, nama
YHWH juga menunjukkan hubungan intim antara Allah dan umat-Nya, di mana Allah
berjanji untuk selalu ada dan mendukung mereka dalam setiap keadaan.
2. Sepuluh
Tulah: Bukti Keesaan Allah atas Dewa-dewa Mesir
Kisah Sepuluh
Tulah (Keluaran 7-12) menjadi salah satu momen paling mendasar yang menunjukkan
kekuasaan YHWH atas dewa-dewa Mesir. Setiap tulah yang ditimpakan bukan hanya
sekadar hukuman, tetapi juga merupakan tantangan langsung terhadap dewa-dewa
yang dipuja oleh bangsa Mesir. Misalnya, tulah pertama, yang mengubah air
Sungai Nil menjadi darah, secara eksplisit menantang Hapi, dewa sungai. Tulah
kesembilan, yaitu kegelapan selama tiga hari, adalah pernyataan kekalahan bagi
Ra, dewa matahari Mesir yang paling berkuasa.
Midrash Mekhilta
menjelaskan bahwa tujuan dari setiap tulah adalah untuk menghancurkan sistem
teologi Mesir, di mana dewa-dewa dianggap memiliki kuasa atas berbagai aspek
kehidupan. Setiap tulah menegaskan bahwa hanya YHWH yang berdaulat atas semua
ciptaan. Dalam konteks ini, rabbi-rabbi seperti Maimonides menekankan
pentingnya pengakuan bahwa dewa-dewa lain tidak memiliki kekuatan sejati dan
hanya Allah yang Esa yang layak untuk disembah.
3.
Penyampaian Hukum Taurat dan Deklarasi Keesaan Allah
Saat Allah
memberikan Sepuluh Perintah (Dekalog) kepada Musa di Gunung Sinai (Keluaran
20:3-4), dua perintah pertama secara jelas menegaskan keesaan Allah. Dalam
Keluaran 20:2-3, Allah mengingatkan umat Israel untuk tidak menyembah allah
lain dan melarang pembuatan patung atau berhala yang menggambarkan allah lain.
Hal ini menunjukkan bahwa Allah YHWH adalah satu-satunya yang berhak
mendapatkan penyembahan dan pengakuan sebagai Tuhan.
Pernyataan yang
terkenal tentang keesaan Allah, Shema, dapat ditemukan dalam Ulangan 6:4:
"Shema Yisrael, Adonai Eloheinu, Adonai Echad" (שְׁמַע יִשְׂרָאֵל יְהוָה אֱלֹהֵינוּ יְהוָה אֶחָד), yang berarti
"Dengarlah, hai Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa!"
Pernyataan ini bukan hanya pengakuan, tetapi juga panggilan bagi umat Israel
untuk menyadari komitmen mereka untuk menyembah hanya satu Allah. Targum
Jonathan menjelaskan bahwa Shema bukan hanya sekadar pernyataan kepercayaan,
melainkan juga seruan untuk setia secara eksklusif kepada Allah yang Esa,
mencerminkan kesetiaan yang tidak dapat ditawar dalam hubungan mereka dengan
Tuhan.
B. Semiotik
dalam Peneguhan Keesaan Allah pada Zaman Musa
1. Tanda-tanda Supranatural sebagai Simbol Keesaan
Allah
Pada masa Musa,
Allah tidak hanya menegaskan keesaan-Nya melalui hukum-hukum, tetapi juga
melalui tindakan-tindakan supranatural yang jelas menunjukkan bahwa hanya YHWH
yang berdaulat atas seluruh ciptaan. Pembelahan Laut Merah (Keluaran 14:21-22)
adalah contoh yang kuat dari penyelamatan Allah yang Esa, di mana umat-Nya
dibebaskan dari perbudakan Mesir. Tindakan ini tidak hanya menyelamatkan,
tetapi juga menegaskan bahwa YHWH adalah satu-satunya Tuhan yang dapat
mengatasi segala rintangan dan tantangan, sesuatu yang tidak bisa dilakukan
oleh manusia atau dewa-dewa lain.
Rashi
berkomentar bahwa pembelahan laut merupakan tanda eksklusivitas YHWH sebagai
Tuhan yang mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, sesuatu yang tidak dapat
dicapai oleh kekuatan manusia. Selain itu, pemberian manna dari surga (Keluaran
16:4) juga menjadi tanda yang sangat kuat bahwa YHWH adalah sumber kehidupan.
Manna yang diturunkan setiap hari menunjukkan keterlibatan Allah dalam
memelihara umat-Nya, menekankan bahwa segala yang baik berasal dari satu sumber
ilahi.
2. Tanda
Visual Keesaan Allah: Tabut Perjanjian
Tabut Perjanjian
(bahasa Ibrani: אֲרוֹן הַבְּרִית, Aron ha-Brit) berfungsi sebagai simbol fisik dari
kehadiran Allah di tengah umat Israel. Ditempatkan di ruang maha kudus dalam
Kemah Suci, Tabut ini menjadi representasi visual dari keesaan dan keagungan
Allah. Di atas Tabut terdapat Kursi Rahmat (Kaporet), di mana Allah menyatakan
kehadiran-Nya. Ini menegaskan bahwa hanya ada satu Kursi Rahmat, yang
mencerminkan bahwa tidak ada dewa lain yang berkuasa.
Keberadaan
Shekhinah, atau kemuliaan Allah, di atas Tabut ini semakin memperkuat
pengajaran tentang keesaan Allah. Targum Pseudo-Jonathan menekankan bahwa
kehadiran Shekhinah di atas Tabut menunjukkan bahwa YHWH berdiam di antara
umat-Nya, menjadi sumber kekuatan, hukum, dan penyelamatan. Ini menggambarkan
bahwa keesaan Allah tidak hanya merupakan ajaran teologis, tetapi juga menjadi
pengalaman hidup sehari-hari bagi umat-Nya.
3. Hubungan
Perabotan Kemah Suci dengan Keesaan Allah
Setiap perabotan
dalam Kemah Suci memiliki makna simbolis yang menegaskan keesaan Allah.
Misalnya, meja roti sajian, yang menandakan penyediaan Allah, dan menorah, yang
melambangkan cahaya dan kehadiran ilahi, semuanya berfungsi untuk menunjukkan
bahwa Allah yang Esa adalah sumber kehidupan dan kebenaran. Midrash Tanchuma
mengungkapkan bahwa perabotan ini bukan hanya simbolis, tetapi juga merupakan
pengingat bagi umat Israel tentang komitmen mereka untuk tetap setia kepada
satu-satunya Allah.
Kemah Suci
sebagai keseluruhan menjadi tempat di mana kehadiran Allah nyata di tengah
umat-Nya, dan setiap elemen di dalamnya berfungsi untuk memperkuat pengajaran
bahwa tidak ada Allah lain yang berhak disembah. Dengan demikian,
perabotan-perabotan ini menjadi pengingat akan hubungan yang intim dan
eksklusif antara Allah dan umat-Nya, serta tanggung jawab umat untuk mengakui
dan menyembah hanya YHWH sebagai Tuhan yang Esa.
Jadi, pengajaran
tentang keesaan Allah pada zaman Musa sangat jelas dan integral bagi teologi
Israel. Dari wahyu nama YHWH yang menunjukkan eksistensi-Nya yang mandiri dan
kekal, hingga tindakan-tindakan supranatural seperti pembelahan Laut Merah dan
pemberian manna, semuanya meneguhkan bahwa hanya YHWH adalah Allah yang benar.
Penegasan melalui hukum-hukum, terutama melalui pernyataan Shema dalam Ulangan
6:4, membangun dasar monoteisme yang kokoh dan menjadi pusat dari iman Israel.
Melalui
simbol-simbol fisik dan supranatural, seperti Tabut Perjanjian dan
tindakan-tindakan mukjizat, Allah yang Esa tidak hanya disembah, tetapi juga
terlibat langsung dalam kehidupan umat-Nya sebagai penyelamat, pemberi hukum,
dan sumber pemeliharaan. Setiap elemen dalam Kemah Suci, mulai dari perabotan
hingga struktur keseluruhan, berfungsi untuk mengingatkan umat Israel akan
kehadiran Allah yang Esa dan komitmen mereka untuk setia kepada-Nya. Dengan
demikian, pengajaran ini tidak hanya relevan dalam konteks sejarah, tetapi juga
memberikan landasan bagi kehidupan spiritual dan moral umat hingga saat ini.
BAB
5
Pengajaran
Keesaan Allah pada Zaman Raja-Raja
A. Labilnya
Status Pengajaran Keesaan Allah
Zaman raja-raja
di Israel, yang dimulai setelah pemerintahan hakim-hakim, merupakan periode
yang menunjukkan dinamika yang kompleks dalam pengajaran dan praktik keesaan
Allah. Dengan transisi dari kepemimpinan yang bersifat lebih kolektif dan
sementara ke sistem monarki yang lebih terpusat, tantangan terhadap keesaan
Allah semakin meningkat. Setelah kematian Yosua, bangsa Israel mulai mengalami
ketidakstabilan spiritual yang dipicu oleh pengaruh budaya sekitarnya dan
ketidaksetiaan terhadap perjanjian dengan YHWH.
1. Politeisme
yang Menggoda
Setelah memasuki
tanah Kanaan, Israel tidak hanya berinteraksi dengan tetangga mereka tetapi
juga terpengaruh oleh sistem kepercayaan mereka. Dalam Kitab Hakim-Hakim
2:11-16, diceritakan bahwa orang Israel "melakukan apa yang jahat di mata
Tuhan" dan beralih kepada dewa-dewa bangsa sekitar, seperti Baal (בַּעַל) dan Asyera (אֲשֵׁרָה). Baal, sebagai
dewa kesuburan dan hujan, serta Asyera, dewi ibu, menjadi simbol godaan bagi
bangsa Israel yang mencari jaminan material dan perlindungan di tengah
tantangan yang dihadapi.
2.
Keterlibatan Sosial dan Moral
Menurut Midrash
Rabbah, penyembahan kepada Baal dan Asyera bukan hanya kesalahan teologis
tetapi juga mencerminkan ketidaksetiaan sosial dan moral umat Israel. Ini
menunjukkan bahwa ketergantungan pada kekuatan-kekuatan palsu menggantikan iman
kepada YHWH, menciptakan ketidakharmonisan dalam hubungan umat dengan Allah.
Dalam konteks semiotik, dewa-dewa ini merepresentasikan kekuatan-kekuatan yang
menarik perhatian dan kepuasan instan, berlawanan dengan pengabdian yang
memerlukan komitmen dan kesetiaan.
B. Kekuatan
Penyembahan kepada Allah yang Esa
Meskipun banyak
raja yang menyimpang dari jalan yang benar, Allah tetap berupaya menjaga
standar penyembahan yang benar. Dalam periode ini, dua tokoh raja yang menonjol
adalah Raja Daud dan Raja Salomo, yang memiliki peran signifikan dalam
mengarahkan umat kembali kepada keesaan Allah.
1. Daud:
Pembela Keesaan Allah
Raja Daud
dikenal sebagai seorang pemimpin yang berkomitmen untuk menegakkan penyembahan
kepada YHWH. Ia memiliki hubungan yang mendalam dengan Allah, yang tercermin
dalam banyak mazmur yang ditulisnya. Salah satu pernyataan teologis yang kuat
dapat ditemukan dalam Mazmur 86:10, di mana Daud mengungkapkan keyakinannya:
"Sebab Engkau besar dan melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib; Engkau
sendirilah Allah" (אֱלֹהִים, Elohim). Di
sini, Daud menegaskan pengakuan akan eksklusivitas dan keesaan Allah.
Melalui tindakan
dan kebijakan, Daud berusaha memulihkan pusat penyembahan kepada Allah dengan
membangun tempat ibadah dan mengatur liturgi. Ia menginstruksikan umat untuk
menyembah hanya kepada YHWH, menciptakan lingkungan yang memungkinkan
pengabdian yang tulus dan mendalam. Dalam Mazmur 119:2, Daud mengingatkan bahwa
berbahagia adalah mereka yang memegang peringatan Allah dan mencarinya dengan
segenap hati, menunjukkan betapa pentingnya komitmen pribadi dalam penyembahan.
2. Janji
Kekokohan Kerajaan Melalui Keturunan Daud
Janji Allah
kepada Daud mengenai keturunannya menjadi aspek kunci dalam penegasan keesaan
Allah. Dalam 2 Samuel 7:12-13, Allah berjanji bahwa Dia akan mengangkat seorang
keturunan dari Daud yang akan mendirikan kerajaan-Nya selamanya. Janji ini
menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan dari luar dan dalam, Allah tetap
berkomitmen untuk menjaga garis keturunan Daud sebagai simbol keesaan dan
pengabdian yang benar. Keturunan Daud diharapkan tidak hanya untuk memerintah
secara politik, tetapi juga untuk mengarahkan umat kembali kepada penyembahan
yang benar.
C. Salomo:
Kemewahan dan Ketidakkonsistenan
Raja Salomo,
putra Daud, memulai pemerintahannya dengan kebijaksanaan luar biasa yang
diberikan oleh Allah. Ia membangun Bait Suci (בֵּית־הַמִּקְדָּשׁ, Beit HaMikdash) sebagai pusat penyembahan dan pertemuan
umat dengan Allah. Namun, ketidakkonsistenan dalam penyembahan kepada YHWH
muncul ketika Salomo membiarkan pengaruh istri-istrinya yang berasal dari bangsa-bangsa
lain mendorongnya untuk membangun tempat penyembahan bagi dewa-dewa asing,
seperti Asyera dan Molekh (מֹלֶךְ).
Perilaku ini
menunjukkan betapa rapuhnya pengabdian kepada keesaan Allah di tengah kemewahan
dan kekuasaan. Dalam 1 Raja-Raja 11:4, dikatakan bahwa "Hati Salomo
menyimpang dari Allah." Ini menyoroti bahaya dari kemewahan dan pengaruh
budaya asing yang dapat merusak komitmen kepada YHWH.
D. Wawasan
Para Rabbi dan Istilah Bahasa Asli
Para rabbi,
seperti Rabbi Abraham Ibn Ezra dan Rabbi Rashi, memberikan wawasan mendalam
mengenai pengajaran keesaan Allah selama periode ini. Rashi menggarisbawahi
pentingnya pemahaman akan keesaan Allah sebagai fondasi dari iman Israel.
Istilah bahasa Ibrani seperti "אֶחָד" (Echad)
dan "לְבַד" (Levad) digunakan untuk
menegaskan bahwa YHWH adalah satu-satunya Tuhan yang tidak terpisah dan tanpa
tandingan.
Rabi Maimonides
menekankan bahwa pengertian keesaan Allah adalah inti dari ajaran Yahudi, yang
membedakan iman Yahudi dari praktik politeistik di sekitarnya. Dalam konteks
ini, setiap tindakan raja yang berpaling dari YHWH menjadi sebuah pengkhianatan
terhadap perjanjian yang telah ditetapkan. Wawasan-wawasan ini menekankan bahwa
setiap penyimpangan dari keesaan Allah akan membawa konsekuensi yang serius bagi
umat Israel.
E. Konteks
Sejarah dan Peradaban
Zaman raja-raja
juga dipengaruhi oleh konteks sejarah yang lebih luas, di mana Israel berada di
tengah persaingan dan konflik dengan bangsa-bangsa besar seperti Asyur dan
Babilonia. Ketidakstabilan politik dan ancaman militer membuat banyak raja
merasa terpaksa berkompromi dengan praktik-praktik keagamaan dari bangsa-bangsa
lain. Penyerangan dan penaklukan menunjukkan bahwa ketidaksetiaan kepada
keesaan Allah berujung pada konsekuensi yang serius bagi bangsa Israel.
F. Simbolisme
Keesaan Allah dalam Bait Suci
Bait Suci
menjadi simbol penting dalam penegasan keesaan Allah. Meskipun belum ada selama
periode hakim-hakim, Bait Suci yang dibangun oleh Salomo menciptakan pusat
spiritual yang menjadi pengingat akan kehadiran Allah di tengah-tengah
umat-Nya. Dalam Bait Suci, simbolisme seperti Tabut Perjanjian (אֲרוֹן הַבְּרִית, Aron haBrit)
menjadi tanda nyata akan kehadiran Allah dan pengakuan bahwa hanya satu Allah
yang layak disembah.
Jadi cukup
jelas, zaman raja-raja di Israel menunjukkan betapa labilnya pengajaran keesaan
Allah. Meskipun Allah berusaha untuk menetapkan standar penyembahan yang benar,
banyak raja yang terjerumus ke dalam kesalahan dan penyembahan berhala. Namun,
melalui tokoh-tokoh seperti Daud dan Salomo, Allah terus berupaya mengarahkan
umat-Nya kembali kepada pengabdian yang sejati.
Janji Allah
tentang keturunan Daud sebagai simbol kekokohan kerajaan menunjukkan
komitmen-Nya untuk tetap setia kepada perjanjian-Nya, bahkan di tengah segala
tantangan. Dalam konteks sejarah dan peradaban yang kompleks, pengajaran
keesaan Allah tetap menjadi landasan utama bagi identitas umat Israel.
Pengabdian kepada Allah yang Esa harus menjadi pusat dari kehidupan spiritual
dan sosial mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya mengenal Allah,
tetapi juga hidup dalam kesetiaan kepada-Nya, menghadapi segala godaan dan
tantangan yang ada.
5. Zaman Raja-Raja
Israel
Pada periode ini,
peneguhan doktrin keesaan Allah merupakan aspek kunci dalam sejarah Israel, yang
melibatkan upaya teologis dan praktis untuk mengatasi penyembahan berhala dan
memperkuat keyakinan terhadap Tuhan yang Esa. Penjelasan berikut mencakup
pendekatan linguistik, teologis, dan tradisi rabbinik, serta analisis literatur
Yahudi kuno untuk memahami keesaan Allah dalam konteks Zaman Raja-Raja.
A. Peneguhan Keesaan
Allah di Zaman Raja-Raja
1. Peran Para Nabi
- Elia di Gunung Karmel (1 Raja-raja 18):
Kisah ini menggambarkan tantangan Elia
terhadap nabi-nabi Baal di Gunung Karmel. Dalam konteks ini, Elia meminta api
dari Tuhan untuk membakar korban sebagai bukti bahwa YHWH adalah Tuhan yang
benar dan Esa. Mukjizat ini tidak hanya mengkonfirmasi kekuasaan Tuhan tetapi
juga menegaskan eksklusivitas-Nya sebagai Tuhan yang Esa. Ini merupakan
pernyataan teologis yang kuat melawan praktik penyembahan berhala yang
berkembang di kalangan bangsa Israel.
- Reformasi Raja Yosafat, Hizkia, dan Yosia:
- Yosafat (2 Taw. 17): Raja Yosafat
berusaha untuk memperkuat ibadah kepada YHWH dan menghapuskan penyembahan
berhala dengan mengirimkan pengajaran Taurat di seluruh kerajaan.
- Hizkia (2 Raja-raja 18): Hizkia
melakukan reformasi dengan menghancurkan tempat-tempat penyembahan berhala dan
memulihkan peribadahan yang benar kepada Tuhan.
- Yosia (2 Raja-raja 22-23): Yosia
memperbarui perjanjian dengan Tuhan, menghancurkan tempat-tempat penyembahan
berhala, dan mengembalikan observansi hukum Taurat sebagai pusat kehidupan
keagamaan.
Reformasi oleh ketiga raja ini merupakan
upaya teologis untuk mengembalikan kesadaran umat tentang keesaan Tuhan dan
menegakkan hukum-Nya, menghapuskan praktek-praktek yang bertentangan dengan
ajaran-Nya.
2. Semangat Reformasi Keagamaan
- Reformasi yang dilakukan oleh raja-raja
ini tidak hanya bersifat politik tetapi juga mendalam secara teologis. Mereka
berusaha membersihkan penyembahan kepada Tuhan dari segala bentuk sinkretisme
dan pengaruh asing, dengan tujuan memperkuat pemahaman tentang keesaan dan
kekuasaan Tuhan yang Esa.
B. Semiotik pada Zaman
Raja-Raja
1. Nama-Nama Tuhan
- YHWH Tsebaoth (Tuhan Semesta Alam):
Dalam bahasa Ibrani, YHWH Tsebaoth (יהוה צבאות) berarti "Tuhan dari
pasukan" atau "Tuhan semesta alam". Nama ini digunakan untuk
menekankan dominasi Tuhan atas semua pasukan di langit dan bumi, menunjukkan
bahwa YHWH adalah penguasa mutlak dari seluruh ciptaan. Nama ini mengkonfirmasi
bahwa tidak ada allah lain yang memiliki kuasa atau otoritas yang sebanding
dengan-Nya.
2. Analisis Semiotic
- Nama Tsebaoth dalam konteks Zaman
Raja-Raja menunjukkan penekanan pada kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas dan
eksklusivitas-Nya. Dalam literatur rabbinik, nama ini sering dianggap sebagai
deklarasi teologis yang menegaskan keesaan Tuhan dengan menunjukkan
kekuasaan-Nya atas segala sesuatu yang ada. Ini membantu umat Israel memahami
dan menghargai keesaan Tuhan melalui penggambaran kekuasaan-Nya yang
menyeluruh.
Pendekatan Linguistik
dan Tradisi Rabbinik
1. Pendekatan Linguistik
- Bahasa Ibrani: Memahami istilah-istilah
seperti YHWH Tsebaoth dalam bahasa Ibrani memungkinkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang bagaimana umat Israel menggambarkan Tuhan dan bagaimana mereka
memahami keesaan-Nya. Nama-nama ini mencerminkan keyakinan mereka tentang
dominasi Tuhan atas segala sesuatu.
2. Tradisi Rabbinik
- Komentar Rabbinik: Dalam literatur
rabbinik, penekanan pada monoteisme diperkuat oleh interpretasi tentang
tindakan raja-raja dan nabi-nabi. Para rabi sering membahas bagaimana reformasi
dan mukjizat tersebut mencerminkan pemulihan pemahaman yang benar tentang Tuhan
dan menegaskan komitmen terhadap keesaan-Nya. Mereka melihat tindakan-tindakan
tersebut sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk menjaga umat-Nya dari pengaruh
yang merusak.
3. Literatur Yahudi Kuno
- Konteks Historis: Kajian terhadap
teks-teks kuno seperti Mishnah dan Talmud memberikan wawasan tentang bagaimana
prinsip keesaan Allah dipahami dan diterapkan dalam praktik keagamaan. Teks-teks
ini mencerminkan penekanan yang konsisten pada eksklusivitas dan otoritas Tuhan
sebagai bagian dari pemahaman religius Yahudi.
Dengan pendekatan ini,
kita dapat melihat bagaimana keesaan Allah ditegaskan secara teologis dan
praktis selama Zaman Raja-Raja Israel, dengan penekanan pada penghapusan
penyembahan berhala, reformasi keagamaan, dan penggunaan nama-nama Tuhan yang
menekankan kekuasaan dan eksklusivitas-Nya.
BAB
6
Zaman
Pembuangan dan Pemulihan
Pada periode
Zaman Pembuangan (sekitar 586-538 SM) dan Pemulihan (setelah 538 SM), peneguhan
doktrin keesaan Allah berlangsung dalam konteks yang sangat menantang. Selama
periode ini, bangsa Israel mengalami pembuangan ke Babel, di mana mereka diuji
iman dan identitasnya sebagai umat pilihan Tuhan. Namun, di tengah tantangan
tersebut, pengharapan akan Mesias yang akan memulihkan mereka tetap menjadi
sumber kekuatan. Berikut adalah penjelasan mendalam mengenai peneguhan keesaan
Allah, kesadaran jati diri umat sebagai pilihan Tuhan, dan harapan akan Mesias,
dengan penekanan pada tatanan ibadah dan ritual yang relevan.
A. Keesaan
Allah di Tengah Pembuangan
1. Peranan
Nabi-Nabi Selama Pembuangan
Yesaya:
Nabi Yesaya,
meskipun sebagian besar pelayanannya berlangsung sebelum pembuangan, memberikan
penghiburan dan harapan kepada umat Israel yang terasing. Dalam Yesaya 45:5-6,
dia menyatakan, "Aku adalah YHWH dan tidak ada yang lain; tidak ada Allah
selain Aku." Pernyataan ini menegaskan bahwa keesaan Tuhan tetap tidak
tergoyahkan, meskipun umat-Nya menghadapi berbagai tantangan. Yesaya juga
mengisyaratkan kedatangan Mesias sebagai penyelamat, yang akan membawa
pemulihan dan rekonsiliasi, sehingga memperkuat harapan umat dalam situasi
sulit.
Yehezkiel:
Yehezkiel,
sebagai nabi di Babel, memiliki peranan penting dalam meneguhkan keyakinan akan
keesaan Allah di tengah pengasingan. Dalam visinya, Yehezkiel menekankan
kemuliaan Tuhan dan menegaskan bahwa YHWH adalah Tuhan yang tidak dapat
dibandingkan dengan dewa-dewa lain. Misalnya, dalam Yehezkiel 36:22-23, Tuhan
berjanji akan memuliakan nama-Nya di antara bangsa-bangsa melalui pemulihan
Israel. Nubuatan ini memberikan harapan bahwa, meskipun mereka berada dalam
situasi yang sulit, Allah akan menunjukkan kekuasaan-Nya dan mempersiapkan
jalan bagi kedatangan Mesias yang akan memulihkan kedamaian dan keadilan.
2. Penyucian
dan Pemulihan
Tujuan Pembuangan:
Pembuangan ke
Babel dipandang sebagai tindakan Tuhan untuk menyucikan umat-Nya dari
penyembahan berhala dan dosa. Selama masa ini, umat Israel menghadapi tantangan
besar untuk menjaga iman mereka terhadap Tuhan yang Esa dalam lingkungan yang
penuh pengaruh budaya asing. Penekanan pada keesaan Allah selama periode ini
berfungsi untuk mengingatkan mereka tentang komitmen Tuhan terhadap mereka,
mendorong mereka untuk tetap setia dan berharap pada Mesias yang akan datang
untuk memulihkan segala sesuatu.
B. Pemulangan
dari Pembuangan
1. Pemulihan
di Bawah Ezra dan Nehemia
Ezra:
Ezra memimpin
pemulihan keagamaan dan sosial setelah kembali dari pembuangan. Ia menekankan
pentingnya mempelajari dan melaksanakan Hukum Taurat. Dalam Ezra 7:10, dicatat
bahwa Ezra "menetapkan hatinya untuk mempelajari hukum Tuhan dan
melakukannya, serta mengajarkan ketetapan dan peraturan di antara orang
Israel." Upaya ini berkontribusi pada pemulihan pemahaman tentang keesaan
Tuhan dan implementasi hukum-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui
pengajaran yang sistematis tentang hukum dan ritual ibadah, Ezra memperkuat
kesadaran umat akan identitas mereka sebagai umat pilihan Allah dan mengarahkan
mereka untuk bersiap menyambut Mesias.
Nehemia:
Nehemia berperan
penting dalam membangun kembali tembok Yerusalem dan memastikan kota itu siap
sebagai pusat ibadah. Dalam Nehemia 8:8, Nehemia bersama Ezra mengajarkan hukum
Tuhan kepada rakyat, yang merupakan bagian dari usaha untuk memulihkan
kesadaran akan keesaan Tuhan dan ketaatan setelah masa pembuangan.
Ritual-ritual seperti perayaan Sukkot dan pembacaan Torah menjadi cara untuk
menguatkan ikatan spiritual mereka dengan Tuhan dan memperkuat harapan akan
Mesias yang akan datang.
2.
Pembangunan Kembali Bait Suci
Pembangunan Kembali Bait Suci:
Pembangunan
kembali Bait Suci setelah pembuangan menjadi simbol penting dari pemulihan
hubungan antara Tuhan dan umat-Nya. Bait Suci bukan hanya sekadar tempat
penyembahan, tetapi juga pusat kehidupan spiritual yang mengingatkan umat
tentang kehadiran Tuhan di tengah mereka. Pelaksanaan ritual pengorbanan dan
ibadah di Bait Suci menegaskan kembali komitmen umat terhadap keesaan Tuhan dan
identitas mereka sebagai umat pilihan. Upacara seperti Hari Raya Pendamaian
(Yom Kippur) dan perayaan Paskah (Pesach) menjadi pengingat akan janji-janji
Tuhan, serta mengantisipasi kedatangan Mesias yang akan memberikan keselamatan
dan pemulihan.
C.
Penggunaan Nama "Adonai"
Etimologi dan Makna
Etimologi: Nama "Adonai" berasal dari kata Ibrani
"אדון" (adon),
yang berarti "tuan" atau "pemimpin." Dalam konteks
religius, penggunaan "Adonai" mencerminkan pengakuan akan kekuasaan
dan otoritas Tuhan. Dalam budaya Yahudi, nama ini dipakai sebagai bentuk
penghormatan dan kedekatan kepada Tuhan.
Makna: Nama "Adonai" sering digunakan dalam
ibadah untuk menggantikan nama YHWH, terutama di sinagoga. Ini tidak hanya
menekankan hubungan personal antara umat dengan Tuhan, tetapi juga menciptakan
rasa hormat yang mendalam. Dalam ritual, penggunaan "Adonai"
menunjukkan bahwa umat menyembah Tuhan yang Esa, yang berkuasa atas segala
sesuatu dan dekat dengan mereka.
Kronologi Penggunaan
1.
Zaman Kuno: Penggunaan nama "Adonai" sudah ada dalam teks-teks awal dan
berfungsi untuk menegaskan hubungan antara Tuhan dan umat-Nya.
2.
Zaman Pembuangan (586-538 SM): Dalam masa pengasingan, nama ini semakin penting
sebagai cara umat untuk berdoa dan mengingat identitas mereka sebagai umat
pilihan Allah.
3.
Pemulihan (setelah 538 SM): Ezra dan Nehemia mengintegrasikan penggunaan
"Adonai" dalam tatanan ibadah, memperkuat ikatan spiritual dan
harapan akan kedatangan Mesias.
Pendekatan
Linguistik, Teologis, dan Tradisi Rabbinik
1. Pendekatan
Linguistik
Bahasa Ibrani:
Analisis bahasa
Ibrani dalam teks-teks Yesaya dan Yehezkiel menegaskan pernyataan teologis
tentang keesaan Tuhan. Istilah-istilah seperti "אֵין" (Ein, "tidak ada") dan "אֱלֹהִים" (Elohim, "Tuhan") menunjukkan
eksklusivitas dan kekuasaan Tuhan. Penggunaan bahasa yang kuat ini membantu
umat memahami bahwa tidak ada dewa lain yang layak disembah, serta mengingatkan
mereka tentang identitas mereka sebagai umat pilihan Allah yang harus setia
kepada-Nya.
2. Pendekatan
Teologis
Teologi Pembuangan dan Pemulihan:
Secara teologis,
pembuangan dan pemulihan adalah periode di mana Tuhan menegakkan prinsip
keesaan-Nya melalui pengajaran dan tindakan pemulihan. Pembuangan berfungsi
sebagai proses penyucian, sedangkan pemulihan menandakan kembalinya umat Israel
kepada penyembahan yang murni dan ketaatan terhadap hukum Tuhan. Dalam konteks
ini, keesaan Allah tidak hanya menjadi landasan iman, tetapi juga sumber
harapan bagi umat yang merindukan kedatangan Mesias yang akan membawa
keselamatan dan keadilan.
3. Tradisi
Rabbinik
Interpretasi Rabbinik:
Dalam tradisi
rabbinik, periode pembuangan dan pemulihan sering dipandang sebagai waktu ujian
iman dan kesempatan untuk memperbaharui komitmen terhadap Tuhan. Para rabbi
menekankan bagaimana peristiwa-peristiwa ini menggambarkan keesaan Tuhan dan
keinginan-Nya untuk menjaga umat-Nya meskipun mereka menghadapi kesulitan.
Konsep "Teshuvah" (תשובה, pertobatan)
menjadi kunci untuk memahami kembali hubungan umat dengan Allah. Harapan akan
kedatangan Mesias dianggap sebagai puncak perjalanan iman mereka, menandakan
pemulihan lengkap dan keselamatan bagi umat pilihan Allah.
Zaman Pembuangan dan Pemulihan merupakan periode yang krusial di mana peneguhan keesaan Allah melalui nubuat para nabi, reformasi keagamaan, dan pembangunan kembali Bait Suci memperjelas dan memperkuat keyakinan bahwa YHWH adalah Tuhan yang Esa dan tak tergantikan. Dalam masa pengasingan, umat Israel dipanggil untuk mengingat identitas mereka sebagai umat pilihan Allah dan tetap berharap pada kedatangan Mesias yang akan membawa pemulihan dan keselamatan. Pengharapan ini menjadi landasan bagi mereka untuk terus berjuang dan setia kepada Tuhan, menantikan saat di mana Mesias akan memenuhi janji-janji-Nya dan membawa kedamaian serta keadilan bagi seluruh umat manusia. Tatanan ibadah dan ritual yang dihidupkan kembali selama masa pemulihan menjadi pengingat bahwa keesaan Allah dan harapan akan Mesias senantiasa melekat dalam jati diri umat-Nya.
BAB
7
Zaman
Transisi Menuju Perjanjian Baru
Periode transisi menuju
Perjanjian Baru adalah fase yang sangat signifikan dalam sejarah umat Yahudi,
mencakup waktu yang krusial antara penulisan kitab-kitab Perjanjian Lama dan
kedatangan Yesus Kristus. Pada masa ini, doktrin keesaan Tuhan menjadi semakin
sentral, berhadapan dengan pengaruh budaya luar, terutama dari Yunani dan
Romawi, serta tantangan yang muncul akibat proses hellenisasi. Periode ini juga
ditandai dengan penguasaan bangsa-bangsa asing terhadap Israel dan upaya umat
Yahudi untuk mempertahankan identitas serta harapan mereka akan kedatangan
Mesias.
I. Dampak dan
Kontribusi Bangsa-Bangsa yang Menguasai Israel
A. Pengaruh Budaya dan Sosial:
Setiap bangsa yang
menguasai Israel memberikan dampak yang mendalam terhadap kehidupan sosial,
politik, dan religius umat Yahudi.
1. Masa Mesir dan Babel:
- Di bawah kekuasaan Mesir, umat Yahudi
terpapar kepada praktik keagamaan yang bersifat politeistik, menciptakan
tantangan bagi identitas keagamaan mereka. Ketika mereka berada dalam
perbudakan, pengalaman ini memperkuat kebutuhan akan penyelamatan. Kisah
pembebasan mereka melalui perantaraan Musa bukan hanya menjadi narasi historis,
tetapi juga landasan teologis yang menekankan hubungan erat antara Tuhan dan
umat-Nya.
- Setelah penaklukan Babel, umat Yahudi
dibawa ke pengasingan. Di sana, mereka dihadapkan pada budaya asing dan
tantangan untuk mempertahankan identitas mereka. Tokoh-tokoh seperti Daniel dan
Ester menjadi simbol harapan, menampilkan keberanian dan ketahanan dalam
mempertahankan iman mereka. Tradisi dan kisah ini berfungsi sebagai pengingat
akan janji Tuhan yang setia, meskipun mereka berada jauh dari tanah air.
2. Pengaruh Romawi:
- Penaklukan oleh Romawi membawa pengaruh
besar, dengan budaya dan bahasa Yunani menjadi dominan. Masyarakat Yahudi
terpaksa beradaptasi, meskipun banyak yang tetap berpegang teguh pada tradisi
mereka. Dalam konteks ini, muncul berbagai aliran pemikiran, termasuk Farisi
dan Saduki, yang berusaha menafsirkan kembali ajaran-ajaran Torah dalam
menghadapi realitas baru.
- Kekuasaan Romawi sering kali disertai
dengan penindasan, yang memicu harapan akan kedatangan Mesias sebagai pembebas.
Narasi harapan ini berkembang dalam berbagai literatur, menciptakan kerinduan
kolektif untuk pemulihan spiritual dan fisik.
B. Harapan Akan Mesias:
Harapan akan kedatangan
Mesias menjadi sentral dalam iman umat Yahudi, yang melihat Mesias sebagai
pemimpin yang akan membebaskan mereka dari belenggu.
1. Pemberontakan Maccabean:
- Pemberontakan ini menjadi simbol
perlawanan yang berhasil melawan penindasan, menunjukkan komitmen umat Yahudi
untuk mempertahankan tradisi dan keesaan Tuhan. Tokoh seperti Yehuda Makabe
menjadi ikon keberanian, dan kemenangan ini bukan hanya kemenangan militer
tetapi juga spiritual. Umat Yahudi merayakan pemulihan bait suci dan menegaskan
kembali identitas mereka sebagai umat pilihan Tuhan.
- Kemenangan dalam perang ini memberikan
semangat baru, meskipun tidak sepenuhnya menghapus keinginan untuk pembebasan
total dari penjajahan asing. Tradisi yang muncul dari perayaan Hanukkah
menggambarkan kegembiraan dan harapan yang tumbuh dari ketahanan.
II. Hellenisasi dan
Dampaknya terhadap Keesaan Allah
A. Proses Hellenisasi:
Hellenisasi membawa
pengaruh luas terhadap kehidupan spiritual dan sosial umat Yahudi. Proses ini
mencakup penyebaran bahasa, filosofi, seni, dan praktik keagamaan Yunani yang
berpotensi mengubah tatanan masyarakat Yahudi.
1. Adaptasi Budaya:
- Dengan adanya bahasa Yunani sebagai lingua
franca, banyak umat Yahudi yang terpaksa mengadopsi beberapa elemen budaya
Yunani, yang menciptakan tantangan bagi keyakinan mereka terhadap Tuhan yang
Esa. Sebagian cendekiawan Yahudi mencoba menjembatani kesenjangan antara
tradisi dan modernitas, menghasilkan karya-karya yang berusaha memadukan
filosofi Yunani dengan teologi Yahudi.
- Munculnya aliran seperti Filsafat Yahudi
Hellenistik menunjukkan usaha untuk menemukan titik temu antara ajaran agama
dan pemikiran Yunani. Tokoh seperti Filon dari Aleksandria berusaha menjelaskan
konsep-konsep Yahudi dengan istilah filosofis Yunani, memberikan kerangka baru
untuk memahami keesaan Tuhan dalam konteks budaya yang lebih luas.
B. Respon Terhadap Hellenisasi:
Umat Yahudi berupaya untuk
mempertahankan identitas religius mereka di tengah ancaman budaya asing.
1. Literatur Apokrif:
- Karya-karya seperti 1 dan 2 Makabe
berfungsi sebagai penegasan tentang pentingnya keesaan Allah, menolak pengaruh
Hellenistik, dan menunjukkan bahwa Tuhan adalah "Tuhan yang benar dan
Esa." Penekanan pada kisah heroik para Maccabean menciptakan narasi
kebangkitan spiritual yang memperkuat tekad untuk bertahan.
- Teks-teks ini berfungsi untuk memberikan
inspirasi dan mengingatkan umat tentang komitmen mereka terhadap tradisi. Dalam
konteks ini, muncul pula kesadaran kolektif tentang pentingnya melestarikan
identitas religius dalam menghadapi tantangan zaman.
2. Peran Sinagoga:
- Sinagoga menjadi pusat pembelajaran dan
penguatan identitas religius. Praktik membaca Shema secara rutin dalam ibadah
menegaskan komitmen kepada keesaan Tuhan, bahkan di tengah tekanan budaya
asing. Sinagoga juga berfungsi sebagai ruang untuk diskusi dan refleksi, di
mana komunitas dapat membahas tantangan yang dihadapi.
- Dalam konteks ini, ajaran rabbi menjadi
sangat penting, tidak hanya dalam hal pemahaman teks, tetapi juga dalam menjaga
ketahanan spiritual umat. Pengajaran tentang makna Shema mengingatkan mereka
akan komitmen terhadap monoteisme.
III. Dinamika
Pemahaman dan Praktik Peribadatan
A. Keesaan Allah dalam Ibadah:
Shema Yisrael (Ulangan
6:4) tetap menjadi inti pengakuan iman di kalangan umat Yahudi, berfungsi
sebagai pengingat akan keesaan Tuhan.
1. Peran Rabbi:
- Para rabbi berfungsi sebagai pengajar dan
penjaga tradisi, memberikan interpretasi yang mendalam mengenai Shema dan
doktrin monoteisme. Dalam Talmud (Berakhot 2a), mereka menekankan pentingnya
pengulangan Shema sebagai inti keimanan Yahudi. Dalam konteks ini, mereka juga memberikan
tafsir mengenai relevansi ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari, menggali
makna mendalam dari setiap kata.
- Diskusi rabbinik sering melibatkan
refleksi tentang makna keesaan Tuhan, menyoroti bagaimana keyakinan ini harus
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Proses belajar dan mengajar di sinagoga
menjadi sumber kekuatan bagi umat Yahudi, memberikan rasa kebersamaan dalam
menjalani iman mereka.
B. Metodologi Semiotik:
Pendekatan semiotik
membantu memahami bagaimana simbol-simbol dalam praktik keagamaan berfungsi
dalam konteks masyarakat Yahudi.
1. Simbol dan Makna:
- Istilah "Ehad" (Esa) dalam Shema
menandakan ketunggalan dan keunikan Tuhan. Ini menjadi pernyataan teologis yang
kuat, menegaskan bahwa tidak ada dewa lain yang dapat disandingkan dengan-Nya.
Makna simbolis ini menembus batasan budaya dan waktu, memberikan kekuatan dalam
keyakinan yang tulus.
- Praktik pengulangan Shema menjadi simbol
identitas, mengingatkan umat tentang komitmen mereka terhadap Tuhan yang Esa.
Ritual ini menjadi lebih dari sekadar kebiasaan; ia merupakan ekspresi iman
yang dalam, menjaga koneksi spiritual dengan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan
mereka.
2. Interaksi Teks dan Praktik:
- Teks-teks rabbinik berfungsi untuk mengisi
kekosongan yang ditinggalkan oleh periode keheningan selama hampir 400 tahun.
Diskusi dan pembacaan di sinagoga menciptakan ruang bagi umat untuk memperkuat
keyakinan mereka. Dalam diskusi ini, umat Yahudi dapat menemukan makna baru
dalam teks-teks kuno, membantu mereka untuk menghadapi tantangan zaman dengan
kebijaksanaan yang diwariskan.
IV. Masa Tanpa Wahyu:
Keheningan Ilahi
A. Periode Tanpa Wahyu:
Masa hampir 400 tahun di
mana Tuhan tidak berbicara kepada umat Israel menjadi masa yang penuh refleksi
dan pencarian spiritual.
1. Pencarian Spiritual:
- Dalam keheningan ini, umat Yahudi
mengandalkan praktik keagamaan yang lebih mendalam, menggunakan ritual dan
pengulangan teks-teks suci untuk menjaga hubungan spiritual. Mereka menemukan
cara-cara baru untuk mengalami kehadiran Tuhan melalui ibadah dan komunitas.
- Diskusi di sinagoga dan pengajaran rabbi
menjadi kunci untuk mempertahankan identitas religius di tengah ketidakpastian.
Umat Yahudi belajar untuk membaca tanda-tanda dalam sejarah mereka,
menciptakan narasi yang menegaskan keberadaan Tuhan meskipun dalam keheningan.
2. Harapan dan Keterjagaan:
- Keberadaan teks-teks seperti Talmud dan
Mishnah berfungsi untuk menjaga tradisi dan memberikan kerangka bagi umat untuk
memahami pengalaman mereka dalam konteks keheningan Ilahi. Diskusi tentang
makna harapan dan iman di tengah tantangan menjadi inti dari pengajaran rabbi,
membantu umat Yahudi untuk tetap terhubung dengan warisan spiritual mereka.
- Meskipun Tuhan tidak berbicara secara
langsung, umat Yahudi merasa bahwa mereka dipanggil untuk menjalani kehidupan
yang mencerminkan nilai-nilai ajaran yang telah diturunkan. Dalam keheningan
ini, muncul kekuatan baru dalam komunitas, menumbuhkan solidaritas dan
ketahanan di tengah kesulitan.
Zaman transisi menuju
Perjanjian Baru merupakan periode yang kaya akan dinamika teologis, sosial, dan
budaya. Meskipun dihadapkan pada tantangan dari berbagai bangsa penjajah dan
proses hellenisasi, umat Yahudi berhasil mempertahankan keyakinan mereka akan
keesaan Tuhan. Melalui literatur, praktik ibadah, dan pandangan rabbinik,
mereka terus merawat identitas religius mereka dengan harapan mendalam akan
kedatangan Mesias. Keesaan Tuhan tetap menjadi pusat pengharapan dan ketahanan,
mengingatkan umat Yahudi akan janji penyelamatan yang abadi, bahkan di tengah
tantangan zaman.
Secara keseluruhan,
periode ini tidak hanya menjadi fase transisi menuju Perjanjian Baru, tetapi
juga menjadi momen penting dalam memperkuat dan mempertahankan identitas
keagamaan yang unik di tengah pengaruh luar yang mengancam. Dengan pemahaman
yang lebih mendalam tentang konteks ini, kita dapat melihat bagaimana iman dan
harapan umat Yahudi terus hidup dan berkembang, siap untuk menyambut kedatangan
yang dijanjikan.
Sebagai penutup, kita dapat mengingat bahwa dalam setiap tantangan, terdapat peluang untuk memperdalam hubungan dengan Tuhan, dan dalam keheningan, ada kesempatan untuk menemukan kekuatan baru yang memungkinkan umat Yahudi untuk terus melangkah maju, berpegang teguh pada keyakinan mereka dan menjalani hidup yang penuh makna
Penutup
Dalam perjalanan iman yang
panjang dan penuh liku, Abraham, Ishak, dan Yakub menjadi teladan bagi kita
dalam mengenal Allah yang Esa sebagai satu pribadi yang hidup dan berkuasa.
Mereka tidak hanya memahami keesaan Allah dalam konteks teologis, tetapi juga
mengalami kehadiran-Nya yang nyata dalam setiap aspek kehidupan mereka. Dalam
setiap janji yang diberikan, mereka menemukan harapan dan kekuatan untuk
menghadapi tantangan yang ada.
Di tengah penderitaan yang
dialami oleh umat Tuhan, kerinduan mereka akan kehadiran Allah yang melawat
menjadi semakin mendalam. Mereka merindukan Tuhan yang berjanji untuk
menyelamatkan umat-Nya, sebagaimana disampaikan melalui para nabi. Janji-janji
ini bukan sekadar kata-kata, tetapi merupakan pengharapan yang menguatkan hati
mereka dalam masa-masa sulit. Dalam setiap kesulitan, umat Tuhan terus
menantikan penggenapan janji-Nya, percaya bahwa Allah yang Esa tidak akan
pernah meninggalkan mereka.
Kita diingatkan bahwa
kerinduan ini juga ada dalam hati kita. Di tengah tantangan dan penderitaan
yang kita hadapi, kita pun merindukan kehadiran Tuhan yang menyelamatkan. Mari
kita terus berpegang pada janji-janji-Nya dan berharap akan penggenapan-Nya
dalam hidup kita. Seperti para patriarkh yang setia, marilah kita mengenal dan
mengalami Allah yang Esa, yang selalu hadir dan siap melawat umat-Nya dengan
kasih dan penyelamatan-Nya. Dengan iman yang teguh, kita dapat melangkah maju,
yakin bahwa Tuhan kita adalah satu pribadi yang setia, yang akan selalu
memenuhi janji-Nya kepada kita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar