📖 Teks Utama:
Keluaran
2:11–3:12
Fokus pada konflik batin Musa,
pelariannya, dan perjumpaannya kembali dengan Allah yang memanggil dan
memulihkannya.
🟦 Pendahuluan: Siapa Saya Sebenarnya? Sebuah Pertanyaan Fundamental
"Hidup yang paling tragis adalah
ketika seseorang tidak pernah menjadi siapa dirinya yang sejati." – John Calvin
Saudara-saudari yang terkasih dalam
Kristus, mari kita jujur pada diri sendiri. Ketika Anda bercermin, apa yang
benar-benar Anda lihat? Bukan sekadar pantulan fisik. Bukan nama yang tertera
di KTP, bukan gelar akademik yang menumpuk di dinding, bukan jabatan mentereng
yang dielu-elukan orang, atau profesi yang menuntut seluruh waktu dan energi
Anda. Semua itu hanyalah atribut, topeng yang kita kenakan dalam panggung
kehidupan.
Tapi, pernahkah Anda merenung, siapa Anda
sebenarnya di mata Tuhan? Dan yang jauh lebih krusial: apakah Anda
sungguh-sungguh hidup sesuai dengan identitas ilahi yang telah
Dia tetapkan itu?
Fenomena yang sering kita jumpai adalah
banyak orang menyadari jati dirinya yang sejati, mereka tahu bahwa
ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitas duniawi. Namun, sangat
sedikit dari mereka yang berani melangkah maju dan hidup
sepenuhnya sesuai jati diri itu. Mengapa begitu sulit? Karena hidup
otentik sesuai jati diri ilahi sering kali menuntut sebuah perjuangan yang luar biasa — sebuah perjuangan melawan
gemuruh ketakutan yang mengakar dalam diri, melawan bayang-bayang luka masa
lalu yang menghantui, dan melawan godaan serta tuntutan dunia yang tak pernah
berhenti membisikkan janji-janji palsu.
Hari ini, mari kita membuka lembaran
kisah seorang figur monumental dalam Alkitab: Musa. Kisahnya bukan
sekadar dongeng purba, melainkan cerminan bagi kita semua. Musa adalah seorang
yang, sejak dini, tahu siapa dirinya, ia mengerti ada
takdir yang lebih besar dari sekadar kenyamanan istana Firaun. Namun, butuh
waktu yang sangat panjang, empat puluh tahun lamanya di
padang gurun yang sunyi, agar ia benar-benar hidup sesuai jati dirinya yang sejati di hadapan Tuhan dan bagi
tujuan Tuhan. Kisah ini akan menantang kita untuk bertanya: sudahkah
kita menemukan identitas sejati kita dalam Kristus, dan beranikah kita
menjalaninya?
🟨 1. Sadar Identitas: Musa di Istana (Keluaran 2:1–10)
Bayangkanlah skenario dramatis ini:
seorang bayi laki-laki lahir di tengah ancaman genosida, di mana setiap anak
laki-laki Ibrani harus dibunuh. Namun, di tengah keputusasaan itu, sebuah
mukjizat terjadi. Lewat penyertaan dan rencana ajaib Tuhan, bayi Musa
diselamatkan oleh Putri Firaun sendiri dan dibesarkan
dalam kemewahan dan pendidikan terbaik di istana Mesir yang agung. Ia memiliki
akses ke segala hal yang bisa ditawarkan kekaisaran terkuat di dunia saat itu.
Namun, ada satu detail krusial yang
membentuk identitasnya: 👉 Siapa yang mengasuh dan
menyusuinya? Bukan wanita Mesir dari istana, melainkan ibu kandungnya sendiri, Yokhebed. (Keluaran 2:8–9). Ini
bukan kebetulan semata, melainkan intervensi ilahi.
Artinya: Sejak masa paling formatif
dalam hidupnya, Musa tahu siapa dirinya. Ia tidak pernah benar-benar
merasa dirinya bagian dari Mesir. Ia adalah orang Ibrani, bagian dari umat
pilihan Tuhan, keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub. Dalam bisikan rahasia dan
pelukan hangat sang ibu, Yokhebed pasti telah menanamkan warisan iman yang
kaya, menceritakan sejarah nenek moyang mereka, dan mengukir dalam
hatinya janji-janji Allah yang abadi kepada bangsa Israel. Musa tumbuh besar
dengan kesadaran akan darah dan panggilan ilahinya, meskipun ia hidup di
lingkungan yang sama sekali berbeda.
📖 Ibrani 11:24–25 memberikan kesaksian
paling kuat tentang kesadaran identitas Musa:
“Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun. Ia lebih suka
menderita sengsara dengan umat Allah daripada hidup senang untuk sementara
dalam dosa.”
Ini bukan penolakan sepele; ini adalah
penolakan terhadap status, kekayaan, kekuasaan, dan masa depan yang terjamin di
istana. Ini adalah penolakan terhadap identitas palsu yang ditawarkan dunia
demi identitas sejati yang berakar pada penderitaan umat Allah.
🟢 Aplikasi Praktis:
Saudara, kita semua tahu siapa kita
dalam Kristus: anak Allah, umat pilihan, terang dunia. Namun, apakah kita hidup
sesuai identitas itu?
Tindakan Nyata:
1.
Evaluasi Lingkungan: Apakah lingkungan Anda (pergaulan,
tontonan, pekerjaan) mendorong Anda hidup sebagai anak Allah atau malah menarik
Anda ke kenyamanan duniawi yang mengaburkan identitas Anda? Berani putuskan
hubungan yang merugikan iman.
2.
Prioritaskan Iman: Seperti Musa menolak status Firaun,
tolaklah tawaran dunia yang mengkompromikan iman Anda. Ini bisa berarti menolak
pekerjaan yang tidak etis, menjauhi hiburan yang merusak, atau memilih untuk
tidak ikut dalam gosip.
3.
Renungkan Setiap Pagi: Mulailah hari dengan
menegaskan identitas Anda dalam Kristus. Ucapkan: "Aku adalah anak Allah,
diciptakan untuk tujuan-Nya." Ini akan membentuk pola pikir Anda sepanjang
hari.
🟨 2. Sadar Aksi: Gagal Karena Cara Sendiri (Keluaran 2:11–15)
Kesadaran akan identitas Ibraninya
memuncak ketika Musa, yang sudah dewasa dan mungkin merasa cukup kuat serta
cerdas, melihat dengan mata kepalanya sendiri seorang mandor Mesir menindas
dengan kejam seorang budak Ibrani. Darahnya mendidih, gairah keadilan membakar
hatinya. Ia tidak bisa tinggal diam. Dengan kekuatan yang ia miliki, ia
membunuh mandor itu, mencoba membela bangsanya
dan menegakkan keadilan dengan caranya sendiri. Ini adalah tindakan impulsif
yang lahir dari niat mulia untuk membebaskan bangsanya, menunjukkan jati
dirinya sebagai pembela Israel.
Namun, apa reaksi tak terduga dari
sesama orang Ibrani yang seharusnya ia bela?
“Siapakah yang mengangkat engkau menjadi
pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku, sama
seperti engkau membunuh orang Mesir itu?” (Kel. 2:14)
💥 Ini adalah pukulan
telak. Musa ingin membuktikan identitasnya, ingin menunjukkan bahwa ia adalah
penyelamat yang dinubuatkan, tetapi caranya salah dan waktunya
belum tepat di mata Tuhan. Ia bertindak dengan kekuatan daging,
bukan hikmat ilahi. Akibatnya, ia kehilangan kepercayaan dari bangsanya
sendiri, dan lebih parah lagi, tindakannya sampai ke telinga Firaun, membuat
nyawanya terancam. Maka, dalam ketakutan dan keputusasaan, ia lari jauh ke tanah Midian.
🔻 Kisah ini menunjukkan
bahwa tahu jati diri saja tidak cukup. Musa tahu ia seorang Ibrani dan ingin
menolong, tetapi ia belum siap secara karakter dan rohani
untuk menanggung beban dan panggilan itu. Keinginan yang benar namun dengan
cara yang salah bisa berujung pada kegagalan yang menyakitkan.
🗣️ Kutipan Inspiratif:
"Seseorang bisa tahu panggilannya,
tahu takdirnya, tetapi bila karakternya belum dibentuk, belum ditempa oleh
Tuhan, panggilan itu bisa menjadi beban yang menghancurkan, bahkan bisa
membahayakan dirinya dan orang lain." – Rick Warren
🟢 Aplikasi Praktis:
Kita seringkali punya niat baik, tapi
melakukannya dengan cara dan kekuatan kita sendiri, berujung pada kegagalan
atau masalah.
Tindakan Nyata:
1.
Introspeksi Diri: Sebelum bertindak, tanyakan:
"Apakah ini cara Tuhan atau caraku?" Berhentilah sejenak dan doakan
setiap tindakan penting, terutama yang melibatkan orang lain.
2.
Kembangkan Karakter: Identifikasi area karakter Anda yang
perlu diperbaiki (kesabaran, kerendahan hati, pengendalian diri). Carilah
mentor rohani atau bergabunglah dalam kelompok kecil untuk bertumbuh bersama.
3.
Belajar dari Kegagalan: Jangan biarkan
kegagalan membuat Anda menyerah. Evaluasi apa yang salah, serahkan pada Tuhan,
dan minta hikmat-Nya untuk langkah berikutnya. Kegagalan adalah guru terbaik
jika kita mau belajar.
🟨 3. Sadar Mimpi: Tersembunyi di Midian (Keluaran 2:16–22)
Di Midian, Musa menemukan tempat
pelarian. Ia menetap, menikah dengan Zipora, memiliki anak, dan menjalani hidup
yang tenang sebagai gembala domba. Sebuah kehidupan yang jauh dari
hingar-bingar istana Mesir, jauh dari tekanan politik, dan jauh dari harapan
besar bangsa Ibrani.
Nama anak pertamanya? Gersom, sebuah nama yang sarat makna dan kesedihan,
artinya "aku telah menjadi pendatang di negeri asing."
(ay. 22).
👉 Nama ini bukan hanya
sekadar status geografis yang menjelaskan ia berada di tanah asing. Ini adalah jeritan hati yang paling dalam, sebuah ungkapan jiwa: “Aku merasa kehilangan arah. Aku bukan lagi siapa-siapa yang
berarti. Aku telah melepaskan identitasku yang sesungguhnya.” Musa,
sang pangeran Mesir dan pahlawan gagal Israel, kini hanya seorang gembala tanpa
identitas yang jelas. Ia telah mengubur aspirasi dan takdirnya dalam rutinitas
sehari-hari yang monoton.
📖 Mazmur 137:1
melukiskan perasaan serupa dari umat Israel yang terbuang: “Di tepi sungai
Babel, di sanalah kami duduk sambil menangis... ketika kami mengingat Sion.”
➡️ Sama seperti orang
buangan yang terasing dari tanah air dan identitas mereka, Musa merasa jauh dan
asing dari panggilan Tuhan yang sebenarnya dalam hidupnya. Ia hidup, bernapas,
tetapi jiwanya terasing dari tujuan ilahi.
🟢 Ilustrasi yang Menyentuh Hati:
Seperti seekor rajawali muda yang, entah
bagaimana, dibesarkan di tengah-tengah kawanan induk ayam, Musa tidak pernah
bisa benar-benar merasa cocok di Midian. Ia mungkin belajar mematuk tanah,
berkokok, dan berjalan seperti ayam lainnya. Ia menyesuaikan diri, menemukan
kenyamanan dalam anonimitas. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang
berbisik bahwa ia diciptakan untuk terbang tinggi. Ia bersembunyi di balik
rutinitas sebagai gembala, menyesuaikan diri dengan lingkungan yang biasa-biasa
saja, dan secara perlahan menekan jati dirinya yang sejati. Ia melupakan
sayap-sayapnya, mengira ia hanya ditakdirkan untuk mematuk di tanah.
🟢 Aplikasi Praktis:
Apakah Anda sedang
"bersembunyi" di Midian Anda sendiri? Menekan potensi dan panggilan
Tuhan karena trauma atau kenyamanan?
Tindakan Nyata:
1.
Identifikasi "Midian" Anda: Apa yang membuat Anda
merasa nyaman dan aman, tetapi menjauhkan Anda dari panggilan Tuhan? (Bisa
berupa pekerjaan, hobi, bahkan hubungan yang tidak sehat). Jujurlah pada diri
sendiri.
2.
Bangkitkan Kembali Mimpi: Ingatlah impian atau
panggilan yang pernah Tuhan tanamkan di hati Anda, yang mungkin sudah terkubur.
Tuliskan kembali. Doakan itu setiap hari.
3.
Ambil Satu Langkah Kecil: Anda tidak perlu
langsung terbang tinggi. Mulailah dengan satu langkah kecil menuju mimpi itu.
Misalnya, jika panggilan Anda adalah melayani, mulailah dengan bergabung dalam
pelayanan kecil di gereja.
🟨 4. Sadar Tujuan Ilahi: Panggilan Tak Padam (Keluaran 3:1–12)
Empat puluh tahun yang panjang berlalu.
Empat dekade di padang gurun yang sunyi, jauh dari ingar-bingar dunia. Musa
kini sudah tua — usianya menginjak 80 tahun. Rambutnya mungkin sudah memutih,
langkahnya melambat, dan impian masa mudanya mungkin sudah terkubur
dalam-dalam. Tapi, identitas ilahi itu, benih panggilan itu, belum mati. Dan yang lebih penting, Tuhan belum selesai dengan Musa. Tuhan tidak pernah
menyerah pada identitas yang Dia tanamkan.
Ketika Musa menggembalakan kambing
dombanya di Gunung Horeb, gunung Allah, tiba-tiba ia melihat sesuatu yang luar
biasa: semak duri yang menyala-nyala, tetapi tidak habis dimakan api. Sebuah
fenomena ilahi.
Tuhan memanggil Musa dari tengah semak
terbakar itu:
“Musa, Musa!”
Dan Musa, dengan segala ketulusannya, menjawab:
“Ini aku.” (Kel. 3:4)
🔥 Kehadiran api yang
menyala tanpa menghanguskan adalah tanda dahsyat: hadirat Tuhan itu kudus,
kuasa-Nya dahsyat, tetapi kasih-Nya tidak pernah menghanguskan kita meskipun
kita berdosa dan menjauh. Begitu juga panggilan-Nya: tidak akan
pernah padam, tidak akan pernah habis, meskipun kita menjauh, gagal, atau
bahkan menyerah. Panggilan Tuhan itu abadi, menunggu waktu yang tepat untuk
kembali dinyalakan.
Musa, yang kini rendah hati dan mungkin
merasa tidak berharga setelah kegagalan masa lalu, ragu, takut, dan berkata: “Siapakah aku ini, sehingga aku yang harus menghadap Firaun dan
membawa orang Israel keluar dari Mesir?” (ay. 11). Ia melihat
keterbatasannya, masa lalunya yang gagal, dan merasa tidak layak.
Tuhan tidak menyemangati Musa dengan
berkata, “Kamu hebat, Musa! Kamu pangeran yang cerdas dan kuat!”
Justru Tuhan berkata:
“Sesungguhnya Aku akan menyertai engkau.
Dan inilah tandanya bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: apabila engkau
telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada
Allah di gunung ini.” (ay. 12)
✅ Inilah esensi dari
kekuatan sejati: Bukan pada kapasitas Musa yang terbatas,
melainkan pada penyertaan Tuhan yang tak terbatas. Penyertaan Tuhanlah yang membuat Musa mampu menjadi siapa dirinya
yang sejati, mampu mengemban panggilan ilahi, dan mampu melakukan
perkara-perkara besar. Tuhan tidak memanggil orang yang sempurna;
Dia menyempurnakan orang yang dipanggil-Nya. Dia tidak mencari yang mampu; Dia
memampukan yang dipilih-Nya.
🟢 Aplikasi Praktis:
Panggilan Tuhan tak pernah padam, bahkan
setelah kegagalan dan penundaan. Dia selalu menyertai kita.
Tindakan Nyata:
1.
Merespons "Ini Aku": Seperti Musa,
jawablah panggilan Tuhan dengan kesediaan. Ini berarti membuka hati untuk
kehendak-Nya, bahkan jika itu menakutkan atau di luar zona nyaman.
2.
Andalkan Penyertaan Tuhan: Jangan fokus pada
"siapa aku ini" (kelemahan Anda), tetapi pada "Aku akan menyertai
engkau" (kekuatan Tuhan). Mulailah setiap tugas dengan keyakinan bahwa
Tuhan bersama Anda.
3.
Berani Melangkah dalam Iman: Ambil langkah
pertama, sekecil apapun, dalam menanggapi panggilan Tuhan. Mungkin itu berarti
berbicara tentang iman Anda kepada seseorang, memulai pelayanan, atau mengambil
keputusan sulit yang selaras dengan nilai-nilai Kristus.
🟥 Penutup: Perjuangan Ditemani Tuhan – Bangkitlah, Rajawali!
Saudara dan saudari yang saya kasihi,
kisah Musa ini adalah sebuah cerminan, sebuah gambaran yang sangat relevan bagi
kita semua hari ini:
·
Kita, seperti Musa di istana, mungkin tahu siapa kita dalam Kristus,
kita tahu potensi dan identitas ilahi kita, tetapi seringkali kita takut menanggung konsekuensinya — takut akan penolakan,
takut akan pengorbanan, takut akan apa yang dunia akan katakan.
·
Kita, seperti Musa yang gagal membela bangsanya, mungkin pernah mencoba bertindak sesuai identitas itu namun gagal,
lalu memilih untuk sembunyi, berkompromi, atau bahkan putus asa dalam rutinitas
yang nyaman namun hambar.
·
Namun, kabar baiknya adalah Tuhan, seperti yang Dia lakukan pada Musa di
semak yang menyala, tidak pernah berhenti memanggil
kita. Dia terus memanggil kita untuk kembali kepada siapa kita seharusnya —
untuk hidup sepenuhnya sesuai jati diri kita yang telah Dia ciptakan di
dalam Dia, di dalam Kristus Yesus.
📖 Efesus 2:10 adalah ayat emas yang
menggenapi semua ini, sebuah deklarasi agung tentang jati diri dan tujuan kita:
“Karena kita ini buatan Allah,
diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan
Allah sebelumnya, supaya kita hidup di dalamnya.”
Kita bukan kebetulan. Kita adalah masterpiece (buatan Allah) yang unik, dirancang dengan
tujuan ilahi.
✝️ Refleksi dan Ajakan Pribadi:
Mari kita luangkan waktu sejenak untuk
merefleksi, untuk membiarkan Firman Tuhan berbicara secara personal kepada hati
kita:
·
Apakah Anda saat ini seperti Musa di istana — Anda tahu betul siapa Anda
dalam Kristus, Anda tahu bahwa Anda adalah anak Raja, namun Anda belum siap
untuk bertindak, belum siap untuk melepaskan kenyamanan dunia demi panggilan
yang lebih tinggi?
·
Atau apakah Anda seperti Musa di Midian — Anda tahu siapa Anda, Anda mungkin
pernah mencoba, namun setelah kegagalan dan kekecewaan, Anda memilih untuk
menyerah, menyembunyikan jati diri ilahi Anda di balik rutinitas dan
anonimitas?
·
Atau, apakah Anda mau, seperti Musa di Gunung Horeb, merespons panggilan
Tuhan yang menyala-nyala itu dengan kerendahan hati dan iman yang baru, dengan
berkata dari lubuk hati Anda:
> “Ini aku, Tuhan. Siapakah aku?
Aku adalah milik-Mu, dan aku mau Engkau pakai sepenuhnya untuk kemuliaan-Mu.”
Tuhan memanggil nama Anda hari ini. Dia
tidak melihat kegagalan masa lalu Anda. Dia tidak melihat kelemahan Anda. Dia
melihat potensi ilahi yang telah Dia tanamkan dalam diri Anda.
➡️ Panggilan-Nya bukan
sekadar untuk Anda tahu jati diri Anda, tetapi untuk Anda berjuang hidup setiap
hari sesuai dengan jati diri itu. Berjuang bukan dengan kekuatan Anda sendiri,
tetapi dengan kekuatan dan penyertaan-Nya yang sempurna.
🟩 Ilustrasi Penutup – Rajawali yang Akhirnya Terbang Tinggi
Ada sebuah kisah inspiratif tentang
seorang petani yang, suatu hari, menemukan sebutir telur rajawali yang jatuh
dari sarangnya. Dengan niat baik, ia meletakkan telur itu di kandang ayamnya.
Anak rajawali itu menetas dan tumbuh bersama anak-anak ayam lainnya. Ia belajar
mematuk biji-bijian di tanah, berkokok, dan berjalan mondar-mandir dengan
langkah pendek, persis seperti seekor ayam. Ia tidak tahu bahwa ia berbeda. Ia
hidup layaknya ayam, mengira itulah takdirnya.
Sampai suatu hari yang cerah, ketika ia
sedang mematuk di halaman, ia mendongak ke langit dan melihat seekor rajawali
raksasa melayang anggun di ketinggian, menari di atas angin, dengan sayap
terentang lebar. Hatinya tiba-tiba bergetar aneh, ada kerinduan yang membuncah
dari dalam jiwanya. Ia merasakan sebuah kesadaran yang kuat — "Itulah aku sebenarnya. Aku diciptakan untuk itu. Aku punya
sayap untuk terbang, bukan hanya mematuk di tanah." Dan saat
itu, sebuah kekuatan baru muncul dalam dirinya, ia mulai melompat, mengepakkan
sayap yang selama ini ia abaikan, dan dengan susah payah, ia mulai belajar
terbang, perlahan-lahan meninggalkan kehidupan ayam, menuju langit yang menjadi
takdir sejatinya.
Saudara dan saudari, kita diciptakan bukan untuk sekadar mematuk di tanah kehidupan,
bukan untuk hidup dalam batasan ketakutan, kegagalan, atau kenyamanan yang
menipu. Kita diciptakan untuk terbang tinggi dalam panggilan dan
tujuan Allah yang mulia. Tapi, betapa banyak dari kita yang, karena trauma masa
lalu, bayangan kegagalan, atau godaan kenyamanan dunia, memilih untuk hidup seperti ayam — padahal kita adalah rajawali
rohani yang memiliki potensi luar biasa dalam Kristus.
➡️ Hari ini, Tuhan
memanggil kamu untuk tidak lagi hidup sebagai ayam. Dia memanggil kamu untuk
bangkit sebagai rajawali!
➡️ Kenali dan pegang
teguh jati dirimu yang sejati di dalam Kristus. Sadari bahwa Dia telah
memampukanmu. Dan sekarang, hidup seturut panggilan-Nya yang agung. Biarkan
sayap imanmu terentang, dan terbanglah tinggi bersama Dia! Amin.