Merdeka dan Berdamai dengan Diri Sendiri - Belajar dari Petrus



Hidup ini seringkali menjadi medan peperangan, bukan dengan orang lain, melainkan dengan diri kita sendiri. Sebuah peperangan melawan kegagalan, penyesalan, dan rasa bersalah yang terus menghantui. Perasaan ini bisa sangat berat, membuat kita merasa tidak layak dan kehilangan arah. Namun, Firman Tuhan hari ini menuntun kita untuk melihat bagaimana kita dapat berdamai dengan diri sendiri, sebuah proses yang indah dan penuh anugerah, melalui kisah seorang rasul besar, Petrus.


1. Nama yang Penuh Harapan dan Identitas yang Baru

Nama awal Petrus adalah Simon. Nama ini berasal dari bahasa Ibrani Šimʿōn yang artinya “Dia (Tuhan) telah mendengar” atau “mendengarkan.” Nama ini mencerminkan sebuah kerinduan yang mendalam, yaitu harapan untuk memiliki hati yang peka dan selalu mendengarkan suara Tuhan.

Namun, ketika Simon bertemu Yesus, hidupnya berubah selamanya. Yesus tidak hanya memanggilnya, tetapi juga memberinya identitas baru, "Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus)." (Yohanes 1:42). Kefas adalah bahasa Aram dan Petrus adalah bahasa Yunani, keduanya berarti "batu karang." Identitas baru ini, sebagai "batu karang," bukan hanya sekadar gelar, melainkan sebuah janji dan penglihatan ilahi akan potensi yang ada dalam dirinya. Yesus melihat bukan hanya Simon si nelayan, melainkan Petrus, fondasi kokoh bagi gereja-Nya.


2. Sumpah Setia dan Kejatuhan yang Menyedihkan

Petrus adalah pribadi yang sangat bersemangat, spontan, dan penuh inisiatif. Dia seringkali menjadi pelopor di antara para murid. Ia adalah yang pertama menyatakan, "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Matius 16:16). Karakter ini membuatnya berani bersumpah setia di hadapan Yesus, "Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak." (Matius 26:33). Ia memiliki keinginan yang tulus untuk setia, tetapi Yesus tahu bahwa keinginannya itu tidak didukung oleh kekuatannya sendiri.

Pada malam penangkapan Yesus, Petrus mencoba membuktikan kesetiaannya. Ia mengikuti Yesus hingga ke halaman imam besar. Namun, di tengah tekanan dan ketakutan, ia jatuh. Di hadapan orang-orang yang mengidentifikasinya sebagai pengikut Yesus, ia menyangkal Gurunya tiga kali. Sumpah setianya hancur berkeping-keping.


3. Tatapan Penuh Kasih yang Memulihkan

Setelah penyangkalan ketiga, ayam jantan berkokok. Lalu Tuhan berpaling dan memandang Petrus." (Lukas 22:61). Tatapan itu bukanlah tatapan penuh amarah atau penghakiman, melainkan tatapan yang penuh kasih, yang menusuk hingga ke dalam hati. Dalam tatapan itu, Petrus teringat akan perkataan Yesus. Rasa bersalah menghujamnya begitu dalam hingga ia keluar dan "menangis dengan sedihnya." (Matius 26:75).

Rasa bersalah yang dirasakan Petrus berbeda dengan Yudas. Rasa bersalah Yudas membawanya pada keputusasaan, namun rasa bersalah Petrus membawanya pada pertobatan yang mendalam. Ia tidak lari dari rasa bersalah itu, tetapi justru rasa bersalah itu menggerakkan hatinya untuk mencari Yesus. Itulah sebabnya, saat mendengar kabar kebangkitan, Petrus langsung berlari menuju kubur (Yohanes 20:3-6). Ia ingin membuktikan kebangkitan itu bukan hanya untuk memulihkan harapannya, tetapi juga untuk memulihkan dirinya.


4. Proses Pemulihan di Danau: Menghadapi Kenyataan

Meskipun telah melihat Yesus yang bangkit, Petrus belum sepenuhnya berdamai dengan dirinya. Ia merasa tidak layak dan gagal. Rasa bersalah itu masih membelenggunya. Oleh karena itu, ia kembali pada profesi lamanya. "Kata Simon Petrus kepada mereka: 'Aku pergi menjala ikan.' Kata mereka kepadanya: 'Kami pergi juga bersama-sama dengan engkau.'" (Yohanes 21:3). Ia ingin melupakan masa lalunya dengan kembali pada zona nyamannya.

Namun, Yesus tidak membiarkannya. Di tepi Danau Tiberias, Yesus menampakkan diri. Di sana, di perapian yang mengingatkan Petrus pada malam pengkhianatannya, Yesus memulai proses pemulihan. Yesus bertanya tiga kali kepada Petrus, "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" (Yohanes 21:15-17).

Pertanyaan ini bukan untuk mengorek luka lama, melainkan untuk menyembuhkan. Setiap pertanyaan adalah kesempatan bagi Petrus untuk mengganti penyangkalannya dengan sebuah pengakuan kasih. Setiap "Ya Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau" adalah langkah menuju perdamaian dengan dirinya sendiri.


5. Dipulihkan untuk Panggilan yang Lebih Besar

Setelah Petrus menyatakan kasihnya tiga kali, Yesus tidak menghukumnya. Sebaliknya, Yesus menegaskan kembali panggilannya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." (Yohanes 21:15, 16, 17). Ini adalah pengampunan total dan pemulihan penuh. Yesus tidak hanya mengampuni dosanya, tetapi juga memulihkan otoritasnya.

Ilustrasi: Bayangkan sebuah vas bunga yang indah, namun pernah pecah. Meskipun telah direkatkan kembali, bekas retakannya tetap terlihat. Rasa bersalah kita seperti bekas retakan itu. Namun, Tuhan tidak hanya merekatkan kita, tetapi juga mengubah retakan itu menjadi karya seni yang lebih indah, yaitu Kintsugi (seni Jepang yang memperbaiki keramik pecah dengan emas). Keretakan itu tidak disembunyikan, melainkan justru ditonjolkan dengan emas, menunjukkan bahwa dari kerusakan dapat lahir keindahan dan nilai yang lebih tinggi. Sama halnya, dari kegagalan Petrus, lahirlah kerendahan hati dan kekuatan yang lebih besar.

Kesaksian: Seorang penulis dan pendeta bernama Brennan Manning, dalam bukunya The Ragamuffin Gospel, menulis, "Penginjilan bukanlah tentang orang yang hebat, tetapi tentang orang yang patah hati yang menyadari bahwa mereka adalah objek kasih karunia yang ekstrem." Petrus adalah contoh nyata dari "orang yang patah hati" ini.

Kutipan: "Berdamai dengan diri sendiri bukanlah melupakan kegagalan, melainkan mengizinkan anugerah Tuhan mengubah kegagalan itu menjadi kesaksian."


Penutup: Menggenapi Panggilan dengan Kekuatan Roh Kudus

Setelah dipenuhi Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2), Petrus yang dulu menyangkal Yesus, kini berdiri dengan berani di hadapan ribuan orang dan berkhotbah tentang kebangkitan-Nya. Tanpa dibebani rasa bersalah, ia memimpin gereja mula-a-mula dengan penuh kuasa. Hidupnya menjadi bukti bahwa anugerah Tuhan melampaui setiap kesalahan kita.

Akhir hidupnya menggenapi janji Yesus. Sejarah gereja mencatat bahwa Petrus mati sebagai martir dengan cara disalib terbalik, karena ia merasa tidak layak untuk disalib dengan cara yang sama seperti Gurunya. Kematiannya menjadi kesaksian terakhir bahwa ia telah sepenuhnya berdamai dengan dirinya dan telah setia pada panggilan Tuhan hingga akhir.

Saudara-saudari, jika saat ini Anda membawa beban rasa bersalah, mari datang kepada Tuhan. Biarkan Dia memulihkan hati Anda, seperti Dia memulihkan Petrus. Jangan biarkan masa lalu menentukan masa depan Anda. Mari berani menghadapi kegagalan, menerima anugerah, dan melangkah maju dalam panggilan yang telah Tuhan berikan.

"Sebab kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata." (Titus 2:11).

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar