NYOWO BALEN



 Nyowo Balen: Sebuah Prolog Kehidupan

Di jantung kebudayaan Jawa, tersimpan sebuah diksi yang lebih dari sekadar kata. Ia adalah sebuah bisikan tentang keajaiban, sebuah gema dari batas antara dunia dan alam baka. Nyowo Balen. Secara harfiah, ia berarti "nyawa yang kembali". Namun, ia bukanlah sekadar catatan medis tentang mati suri. Ia adalah sebuah konsep spiritual yang sarat makna, sebuah pengakuan bahwa ada tangan tak terlihat yang mampu menarik jiwa dari tepi jurang maut. Raja Daud, dalam gubahan puitisnya, melukiskannya dengan sempurna: “Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat.” Kisah ini adalah kesaksian hidup akan makna agung itu. Inilah relaitas hidupku.

Namaku Edi Zakarijah. Aku terlahir di kota Pahlawan, Surabaya, pada 4 April 1967, buah cinta dari ayahku, Daud Sulaiman, dan ibuku, Dewi Aisah. Hidupku seharusnya berjalan normal seperti bayi-bayi lainnya. Namun, takdir menuliskan babak pembuka yang tak terduga dan mencekam. Ketika usiaku menginjak sembilan bulan, sebuah tirai kegelapan tiba-tiba turun menyelimuti buaianku. Tanpa demam, tanpa tanda-tanda penyakit, napasku berhenti. Detak jantung kecil yang menjadi musik terindah bagi  orang tuaku, lenyap. Kepanikan meledak di rumah kami. Tubuh mungilku yang hangat mulai mendingin. Bibirku membiru. Dalam pelukan ibuku yang histeris dan di hadapan ayahku yang terpaku tak percaya, aku telah pergi.  Satu jam berlalu. Waktu terasa merayap, menggerus setiap butir harapan. Satu setengah jam... lebih. Dalam dunia medis, ini adalah waktu yang mustahil. Harapan telah menjadi abu, tangis telah menjadi keikhlasan yang paling pahit. Aku, Edi Zakarijah, telah mati.

Di tengah keputusasaan yang memuncak itulah, secercah iman datang dalam wujud Pdt. L.M. Sila, gembala sidang yang melayani keluarga kami. Melihat jasad kecil yang tak lagi bernyawa, ia tidak mengucapkan kata-kata penghiburan. Sebaliknya, ia memulai sebuah peperangan rohani. Ia menumpangkan tangannya dan berdoa. Doa pertama dinaikkan dengan khusyuk. Tak ada jawaban. Keheningan tetap mencengkeram. Doa kedua, lebih mendesak. Tubuhku tetap dingin, tak bergerak. Doa ketiga, sebuah seruan yang menantang maut. Hanya kesunyian yang membalas. Air mata orang tuaku mungkin telah kering, digantikan kehampaan. Namun, sang hamba Tuhan terus bergumul. Doa keempat, sebuah permohonan yang menggedor pintu surga. Dan akhirnya, doa kelima. Sebuah penyerahan total, sebuah teriakan iman yang terakhir di ambang batas keputusasaan. Dan keajaiban itu terjadi. Bukan dalam bentuk tarikan napas yang lembut. Bukan dengan mata yang perlahan terbuka. Kehidupan kembali dengan cara yang paling primal dan tak terduga. Sebuah gerakan di perutku... lalu tubuhku yang kaku itu melepaskan kotoran. Itu adalah tanda pertama. Tanda bahwa sistem biologis yang telah mati, kembali bekerja. Sesaat setelah itu, dari paru-paru yang telah lebih dari satu setengah jam membisu, pecahlah suara yang paling dinanti. Sebuah tangisan. Bukan tangisan biasa, melainkan tangisan yang merobek selubung kematian. Tangisan seorang bayi yang ditarik kembali dari lubang kubur. Aku hidup. Aku adalah Nyowo Balen. 

Peristiwa itu bukan sekadar cerita masa kecil yang aneh. Ia menjadi fondasi hidupku. Ia adalah pengingat abadi bahwa hidupku adalah anugerah kedua. Setiap napas yang kuhela sejak hari itu adalah gema dari rahmat. Setiap detak jantungku adalah musik dari kasih setia yang memahkotaiku. Aku adalah Edi Zakarijah, seorang anak manusia yang kisah hidupnya dimulai, bukan dengan kelahiran, tetapi dengan kelahiran kembali. 

Babak Dua: Benteng Iman di Tanah Angker 

Hidup yang telah direnggut kembali dari ambang kematian itu kini memasuki sebuah babak baru. Aku, Edi Zakarijah, bocah berusia sekitar empat atau lima tahun, menjadi saksi mata dari sebuah perjuangan yang akan menempa seluruh pandanganku tentang iman dan dunia yang tak kasat mata. Ayahku, seorang pendeta Pantekosta yang terbakar oleh api panggilan jiwa, memutuskan untuk memulai sebuah rintisan baru. Arenanya adalah Muncar, sebuah daerah di Banyuwangi, tanah yang sejak lama dikenal tak hanya karena keindahannya, tetapi juga karena denyut mistisnya yang kental. Ia berangkat bukan dengan bekal kemegahan. Tidak ada sponsor, tidak ada dukungan dana yang terjamin. Modalnya adalah keyakinan murni dan sebuah keluarga kecil yang setia mendampingi: istrinya, Dewi Aisah yang masih menyusui adik perempuanku, Cendana Sukanti, dan aku, putra sulungnya. Tantangan pertama adalah tempat berteduh. 

Ayahku menghubungi Komando Distrik Militer (Kodim) setempat, memohon izin untuk menempati sebuah rumah yang tak lagi berpenghuni. Rumah itu bukan sekadar kosong, ia memiliki reputasi yang mengerikan. Rimbun, tak terawat, dan diliputi aura kelam, dinding--dindingnya menyimpan gema sejarah berdarah sebagai bekas lokasi penyembelihan para pengikut PKI. Rumah itu angker. Bagi kami, hal-hal ganjil menjadi bagian dari keseharian. Suara tanpa wujud, bayangan yang melintas, dan hawa dingin yang merayap di tengah malam adalah "penghuni" yang harus kami hadapi. 

Namun, bagi ayahku, ini adalah medan pertempuran rohani yang nyata. Suatu malam, ia diserang secara fisik. Sesosok "genderuwo" mencekiknya dalam tidur, meninggalkan rasa sakit nyata yang mendera lehernya hingga tiga hari lamanya. Di tengah serangan tak kasat mata itu, senjatanya hanya satu: kuasa dalam nama Yesus yang ia serukan hingga cengkeraman itu terlepas.  Pertolongan dan perlindungan Tuhan menjadi perisai kami yang paling nyata. Perlahan tapi pasti, tangan ayahku mengubah rumah angker itu. Semak belukar dibersihkan, dinding dicat, dan aura kelam itu mulai terkikis oleh  lantunan doa dan puji-pujian. Rumah itu mulai tampak hidup dan terawat. Namun, ironisnya, cahaya yang mulai terpancar itu justru mengundang kegelapan dari jenis yang berbeda. Famili dari pemilik rumah yang dulu tak pernah peduli, kini mulai menginginkannya kembali. Teror pun berubah wujud, dari gaib menjadi licik. 

Suatu hari, ayahku disuguhi secangkir kopi oleh seseorang. Sebuah gestur keramahan yang menyimpan niat mematikan. Sebelum bibirnya menyentuh cangkir itu, seperti kebiasaannya, ayahku menundukkan kepala untuk berdoa. Dalam sepersekian detik setelah doa singkat itu terucap, sebuah peristiwa ganjil terjadi. PRAAANG! Gelas kopi itu tiba-tiba pecah berkeping-keping di tangannya, menumpahkan seluruh isinya ke tanah.Sebuah serangan racun telah dipatahkan bahkan sebelum ia sempat bekerja. 

Namun, musuh tak menyerah. Serangan terakhir datang di puncak keheningan malam. Tiba-tiba, dari atas atap rumah kami, terdengar sebuah ledakan dahsyat, sekeras bom yang meledak tepat di atas genting. Suaranya memekakkan telinga, mengguncang seisi rumah. Di tengah kepanikan itu, ayahku tetap tenang. Ia tahu ini bukan ledakan fisik. Ini adalah santet, sebuah serangan ilmu hitam yang dikirimkan untuk mencelakai kami. Ia tidak berlari keluar, tidak berteriak. Ia hanya melakukan apa yang selalu ia lakukan: berdoa dan menyerukan nama Yesus, membangun benteng perlindungan iman di sekeliling kami. Keheningan kembali, namun peperangan itu telah usai dengan cara yang tak terduga. Esok paginya, sebuah kabar mengejutkan menyebar di kampung. Cucu dari seseorang yang dikenal luas sebagai dukun paling sakti di daerah itu, meninggal dunia secara mendadak. Bagi diriku yang masih kecil, peristiwa-peristiwa itu terpatri bukan sebagai dongeng horor, melainkan sebagai pelajaran pertama. Aku belajar bahwa dunia ini lebih luas dari yang terlihat. Ada kegelapan, ada kejahatan, baik yang gaib maupun yang lahir dari hati manusia. Tetapi di atas segalanya, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bahwa iman ayahku bukanlah teori. Imannya adalah senjata, perisai, dan menara perlindungan. Di tanah angker Muncar, aku tidak hanya melihat ayahku sebagai seorang pendeta, aku melihatnya sebagai seorang prajurit iman di garis depan. 

Babak Tiga: Sukacita dalam Kesederhanaan 

Awal mula pelayanan ayahku terukir jelas dalam ingatanku sebagai masa- masa yang penuh tantangan. Hasil dari seluruh jerih payahnya saat itu belum mampu mengumpulkan banyak orang; yang terjangkau hanya satu jiwa, itu pun seorang yang dianggap gila oleh lingkungan sekitar. Karena pelayanannya belum membuahkan hasil secara materi, kehidupan kami sekeluarga pun serba terbatas. Aku ingat betul datangnya bantuan sepikul gaplek. Bahan makanan sederhana itu menjadi tumpuan hidup kami selama berbulan-bulan, dan dengan setia ibu mengubahnya menjadi aneka masakan agar kami tetap bisa makan. Di luar itu, kemewahan kami sering kali hanyalah nasi hangat dan sepotong ikan asin. Namun, di dalam istana kesederhanaan itu, kami adalah raja dan ratu yang bergelimang sukacita surgawi. 

Ironisnya, kenangan termanis dalam hidupku terukir di masa-masa paling sulit itu. Aku pernah berpuasa tiga hari lamanya di usia lima tahun, sebuah disiplin rohani yang dipaksakan oleh ketiadaan. Jika kau bertanya apakah masa kecilku menyedihkan, jawabanku adalah tidak. Justru saat itulah aku paling bahagia, saat aku belajar bahwa sukacita sejati adalah karunia Roh, bukan hasil dunia. Satu peristiwa terpatri selamanya dalam jiwaku. Ibu meminta uang, dan ayah tak punya sepeser pun untuk diberikan. Dalam keheningan yang memilukan itu, ayah mengambil sebuah ukulele tua. Ia, yang jemarinya kaku pada dawai, memetiknya sebagai korban pujian. Sambil membuka buku nyanyian, ia menyanyi dengan suara yang pecah oleh isak tangis. Aku terhanyut, ikut melantunkan pujian. Ruangan itu berubah menjadi altar dadakan. Ayah lalu menumpangkan tangannya di atasku. Seketika, lidahku yang kecil dan kelu dilepaskan oleh kuasa Roh Kudus. Aku berbahasa roh, dan tubuh mungilku berlutut selama dua jam lamanya, terbenam dalam hadirat Tuhan. Aku baru tersadar saat kakiku menjerit kesemutan, sebuah rasa sakit yang manis sebagai penanda perjumpaan yang mengubah segalanya. 

Perjalanan kami berlanjut, membawa kami dari Muncar ke sebuah daerah bernama Tembok Setail. Di mana persisnya rumah itu kini berdiri, aku tak lagi bisa menunjukkannya; kabut waktu lima puluh tahun telah mengubah segalanya. Kami menempati rumah yang lebih lapang, meski aku tak pernah tahu apakah kami menyewa atau sekadar dipinjami. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti urusan orang dewasa. Di sanalah, aku menyaksikan jemari ibu dengan cekatan merajut helai-helai bambu menjadi keranjang yang akan ia jual ke pasar, sebuah upaya tanpa lelah untuk menopang ekonomi keluarga. Dan di tengah kesederhanaan itu, kebahagiaan bisa terasa begitu melimpah. Aku ingat betul sukacitaku saat menerima hadiah termewah: sebatang es lilin. Di era 70-an, rasa dingin yang berharga itu adalah sebuah kemewahan langka yang tak ternilai. 

Seiring berjalannya waktu, secercah harapan baru muncul ketika seorang jemaat menghibahkan sebidang tanah untuk pembangunan gereja. Namun, seorang anggota jemaat lain, seorang tentara ABRI, mendesak dengan paksa agar gereja dibangun di dekat rumahnya. Ayahku, dengan ketajaman rohaninya, membaca niat tersembunyi di balik usulannya. Pria itu tinggal di atas tanah ‘land gendom’—tanah tak bertuan—dan ia berharap keberadaan gereja bisa menjadi alat baginya untuk mengklaim hak milik atas tanah itu. Ayahku menolak berkompromi dengan niat egois tersebut, sebuah keputusan yang ternyata menyulut api amarah dalam diri pria itu. Amarah itu akhirnya meledak pada suatu senja. Ayah baru saja menyelesaikan doa puasa selama tiga hari dan sedang duduk tenang di teras saat matahari mulai tenggelam. Tiba-tiba, pria itu muncul dari kegelapan, matanya menyiratkan niat buruk. Ia tidak datang dengan tangan kosong; sepucuk senjata laras panjang ada di tangannya, dan sebuah pistol terselip di pinggangnya. Ancaman kematian terlontar dari bibirnya. Namun, ayahku tidak gentar. Ia menatap lawannya dengan sorot mata yang tajam, lalu menghentakkan tangannya ke meja seraya berseru, “Dalam nama Yesus! Apa yang berasal dari si jahat, kembali kepada si jahat! Apa yang berasal dari Tuhan, adalah milik Tuhan!”  Seketika itu juga, kuasa ilahi bekerja. Pria bersenjata itu terbelalak, dan seluruh tubuhnya membeku laksana patung, kaku dan tak bergerak. Selama kurang lebih setengah jam, ia terperangkap dalam kelumpuhan yang tak terlihat, sementara ayahku tetap di tempatnya, berdoa dalam keheningan tanpa sedikit pun rasa takut untuk lari. Ketika akhirnya ia bisa bergerak, pria itu lari tunggang-langgang, ditelan oleh kegelapan dan rasa takutnya sendiri. Sejak malam itu, rentetan malapetaka mulai merajut nasibnya; dari dokarnya yang hancur kecelakaan hingga kudanya yang mati. Bagi kami, semua itu adalah bukti yang tak terbantahkan: Tuhan sendiri yang menjadi perisai dan pembela bagi hamba-Nya. 

Babak Empat: Dari Satu Ladang ke Ladang Lain 

Ada sebuah pola, sebuah narasi takdir yang berulang, yang kini ku pandang dengan refleksi mendalam. Pola itu seolah diguratkan oleh tangan tak terlihat, setiap kali benih pelayanan yang Ayahku tanam mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, hendak tumbuh menjadi sebuah bangunan fisik yang megah, sinode hadir sebagai badai yang mencabutnya, melemparkannya ke ladang yang baru dan asing. Kami tak pernah benar-benar diizinkan berakar. Begitu sebuah harapan mulai terukir di satu tempat, surat perintah pindah yang dingin tiba, seolah menjadI penanda sebuah siklus abadi. Dari Blitar, kami dipaksa menapaki jalan baru ke Cepu. Di Cepu, di desa bernama Tambak Boyo, Ayahku akhirnya berhasil menorehkan jejak yang tak terhapus. Dengan tangan yang penuh luka dan keringat, ia mendirikan fondasi gereja—sebuah monumen harapan yang dibangun dari ketabahan dan doa yang tak pernah putus. Namun, di puncaknya, ketika kami hampir menyaksikan bangunan itu berdiri, surat perintah pindah itu datang lagi, seolah menjadi ujian terakhir. 

Kali ini, sebuah garis ditarik. Sesuatu di dalam diri Ayahku, sebuah ketabahan yang selama ini ia genggam, akhirnya mencapai batasnya. Ia menolak. Penolakan itu bukan sekadar kata-kata; ia adalah sebuah deklarasi, sebuah titik balik yang memicu gelombang konsekuensi yang tak terhindarkan. Pilihan Ayahku untuk melepaskan jubah naungan sinode lama, Gereja Pantekosta Elim, dan memulai lembaran baru di bawah Gereja Penyebaran Injil adalah sebuah langkah yang penuh risiko. Namun, perpisahan itu ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Tanah dan fondasi yang telah dibangun dengan air mata dan jerih payah, kini menjadi objek sengketa. Ayahku, dengan kebijaksanaan yang pahit, menyadari bahwa untuk benar-benar bebas dan memulai dari nol, semua ikatan harus diputus. Maka, sebuah keputusan besar pun dibuat: kami akan meninggalkan segalanya, mengubur kenangan, dan berpindah ke kota Madiun. Di sinilah kisah ini menemukan misteri terbesarnya, sebuah anomali yang hingga kini seringkali aku renungkan dalam hening malam. 

Babak Lima: Benih Panggilan Tak Tergoyahkan

Aku adalah saksi mata. Aku melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana panggilan sebagai hamba Tuhan bukanlah sebuah jalan kemuliaan, melainkan sebuah jalan penderitaan. Sebuah jalan yang dipenuhi kesengsaraan, kekurangan, dan di bawah bayang-bayang ancaman yang tak pernah surut. Logika sederhana seharusnya menuntunku pada ketakutan, menuntunku untuk memilih jalan yang berlawanan, jalan yang lebih aman dan nyaman. Namun, di sinilah keanehan itu muncul. Sejak usia lima tahun, ada sebuah konsistensi yang tak tergoyahkan, sebuah keyakinan yang membeku dalam waktu. Setiap kali ada orang dewasa yang bertanya, "Besok jika sudah besar, mau jadi apa?" jawabanku selalu sama, terucap dengan mantap dan tanpa secuil pun keraguan: "Aku mau jadi pendeta."

Panggilan kanak-kanak itu, kini kusadari, bukanlah sekadar impian naif. Ia adalah sebuah gema dari takdir yang telah diguratkan, sebuah bisikan dari masa depan yang tak bisa kuingkari. Hari ini, aku berdiri di sini, seorang pendeta, mengenakan jubah yang pernah Ayahku kenakan. Dan cerita ini, yang kupandang dari sudut pandang seorang anak yang menyaksikan, hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan yang lebih panjang dan lebih
dalam.


Madiun, Medio Agustus 2025
Penutur:
Edi Zakarijah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar