DEMOKRASI DAN KEPEMIMPINAN GEREJA



Shallom...


Sejak orde baru tumbang, masyarakat Indonesia menikmati euforia demokrasi. Semua boleh berbicara, dan semua boleh dibicarakan. Tidak ada hal tabu, juga tidak ada etika sungkan. Karena itu para pakar berteriak lantang dengan menyebut hal ini sebagai demokrasi kebablasan.


Minggu-minggu ini media masa sibuk berbicara tentang terpilihnya Barack Obama sebagai presidan Amerika Serikat, yaitu negeri kiblatnya demokrasi modern. Demokrasi dijalankan berdasarkan adagium “Vox populi, vox Dei”, yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan. Dengan demikian kebenaran adalah semua yang dikatakan oleh orang banyak. Secara ontologis (kodrati) hal ini memang ada benarnya, sama seperti suara hati nurani seringkali semua orang bunyinya sama. Seperti yang kita pelajari beberapa mingu ini tentang hati nurani, ternyata hati nurani juga mempunyai kelemahan. Sehingga kebenaran tidak selalu disuarakan banyak orang. Seringkali kebenaran justeru berbisik lirih dan lembut. Hanya orang yang haus dan lapar akan kebenaran yang dapat mendengarnya.


Kembali kepada topik demokrasi, pola pikir demokrasi seringkali terbawa ke dalam kehidupan bergereja. Banyak orang berpikir Gereja harus dikelola dengan sistem demokrasi. Orang lupa bahwa Gereja adalah lembaga yang bersifat “Teokrasi”, yaitu lembaga yang dimiliki dan dikelola dengan caranya Tuhan. Bukan pendapat orang banyak yang dianut, tetapi kebenaran Firman Tuhan sebagai pijakan kebenaran yang mutlak. Pengingkaran terhadap hal ini berarti sama dengan orang Israel yang memberontak kepada Tuhan. Mereka menolak Tuhan sebagai Raja mereka dan mengingin-kan manusia menjadi rajanya (pemimpin) (1Samuel 12:17). Jangan memaksakan jalan manusia sebagai jalannya Tuhan. (Gembala)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar