HAUS DAN LAPAR AKAN KEBENARAN

Oleh: Pdt. Edi Zakaria

“Berbahagialah orang yang haus dan lapar akan kebenaran,
karena mereka akan dipuaskan.” Matius 5:6


Setiap orang yang haus pasti ingin minum. Setiap orang yang lapar pasti ingin makan. Ini adalah penalaran yang lumrah yang kita jumpai setiap hari. Tetapi ketika Tuhan Yesus mengucapkan, ”Berbahagialah orang yang haus”. Yang Dia maksudkan dengan ”haus” itu bukanlah seperti saat kita lari-lari pagi dan seluruh badan berkeringat, lalu kita merasa haus, kemudian kita minum beberapa teguk air, sesuadah itu rasa hauspun hilang. Bukan, bukan seperti itu.
Kata ”haus” yang dimaksudkan Tuhan Yesus adalah seperti orang-orang Palestina yang sulit untuk mendapatkan air, karena daerah tersebut adalah daerah padang gurun. Hampir seumur hidup mereka merasa kehausan. Bahkan mereka hampir mati karena kehausan.
Begitu pun dengan ”lapar”. Bukan seperti demikian: Perusahaan kami mengalami goncangan financial sehingga kami para pimpinan harus berkumpul untuk membahas masalah tersebut dalam rapat. Kami mengadakan rapat dari pagi sampai malam tanpa makan. Begitu selesai rapat kami makan nasi pecel ”Bu Eni”, dan rasanya kenyang sekali. Bukan, bukan seperti ini yang dimaksudkan dengan kata ”lapar” oleh Tuhan Yesus.
”Lapar” yang dimaksudkan Tuhan Yesus adalah seperti orang Etiopia yang sedang mengalami bencana kelaparan. Atau seperti masyarakat Korea Utara yang mengalami lapar bertahun-tahun.

Menantang
Tuhan Yesus menggunakan ungkapan ”haus” dan ”lapar” sebenarnya ungkapan tersebut mengandung ungkapan yang menantang kepada semua pendengarnya. Karena ”lapar” yang dimaksud adalah lapar yang bertahun-tahun. Dan ”haus” yang dimaksud adalah haus yang sangat kronis. Dimana para pendengarnya harus memilih dan harus mengambil keputusan yang segera dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Mereka harus mendapatkan ”makanan dan minuman” atau ”mengalami kematian tanpa makanan dan minuman”.
Jadi seberapa besar kemauan kita untuk mendapatkan kebenaran? Seberapa bulat tekad dan komitmen kita untuk hidup dalam kebenaran? Kita ditantang, dan harus segera merespon tantangan tersebut. Hidup dengan kebenaran ataukah binasa tanpa kebenaran. Itulah yang dimaksudkan dengan haus dan lapar akan kebenaran.

Penghiburan
            Ayat di atas bukan hanya menantang setiap pendengarNya, tetapi juga menghiburkan mereka. Yang Tuhan Yesus sebut ”Berbahagialah...” bukan ditujukan kepada orang yang makan dan kenyang. Juga bukan kepada orang yang minum lalu dahaganya hilang. Ungkapan ”berbahagialah” tersebut ditujukan kepada mereka yang khusus sedang memiliki ”rasa haus dan rasa lapar”.
            Ada sebuah yayasan sedang melakukan penggalangan dana. Cara mereka memotivasi para donaturnya agar sudi menyalurkan keuangannya untuk membantu orang yang kelaparan melalui yayasan tersebut adalah dengan mengajak para donatur berpuasa selama 25 jam. Mereka diminta untuk berpartisipasi ”mencicipi” rasa haus dan lapar seperti yang dialami para penederita kelaparan. Cara ini memang ampuh. Tetapi apalah artinya puasa 25 jam, dibandingkan mereka yang sudah bertahun-tahun mengalami kemiskinan dan kelaparan bertahun-tahun. Sementara mereka yang berpuasa 25 jam sesudahnya mereka bisa makan makanan yang lezat-lezat dan minuman yang menyegarkan. Walaupun mereka hanya berpuasa 25 jam, tetapi paling tidak mereka mengalami ”merasakan” haus dan lapar.
            Begitupun dengan kita. Tidaklah mungkin kita bisa terus menerus mengenggam dan mendekap kebenaran. Ada masa-masa dimana terkadang kita lengah dan lalai lalu kehilangan kebenaran. Tetapi setidak-tidaknya, jika kita masih memiliki rasa haus dan lapar akan kebenaran, itu cukup mendorong kita untuk terus menerus mengejar kebenaran. Ini memberi penghiburan kepada kita untuk terus mencari dan memiliki kebenaran. Sehingga kata ”Berbahagialah” adalah menjadi bagian kita, bukan yang sudah merasa memiliki dan menggenggam kebenaran. Tetapi yang terus menerus haus dan lapar akan kebenaran.

Pilihan
Tata bahasa yang digunakan pada kata ”haus” dan ”lapar” pada ayat tersebut menunjuk kepada keadaan haus dan lapar yang utuh, yang penuh dan terus menerus. Jadi yang mendapat jaminan ”dipuaskan” oleh Allah adalah mereka yang terus menerus haus, terus menerus lapar. Dan tidak cukup dengan beberapa teguk atau beberapa sendok kebenaran yang disuapkan. Tetapi harus seluruh kebenaran,  ya... semua kebenaran secara utuh, penuh dan terus menerus.
Jadi tidak bisa kita bersikap begitu saleh dan suci, rajin beribadah, tetapi selingkuh tetap jalan terus. Tidak bisa kita berpenampilan seperti malaikat, tetapi perilaku seperti penjahat. Tidak bisa kita bertutur kata bagai pendeta, tetapi kejujurannya adalah seorang pendusta. Tidak, ...tidak bisa begitu. Harus ada ketegasan. Kalau hidup benar, ya hidup benar secara utuh, penuh dan terus menerus. Atau tidak sama sekali. Di mata Tuhan Yesus, sebagian benar itu sama dengan tidak benar. 99,999999... benar itu sama dengan sama sekali tidak benar. Jadi hanya ada dua pilihan: benar atau sama sekali tidak benar.
Tetapi siapa yang bisa memiliki kebenaran secara utuh seperti itu? Memang tidaklah mungkin untuk benar seratus persen. Sampai mati pun tidak akan bisa. Tetapi paling tidak jika memiliki rasa haus dan lapar akan kebenaran, itu menjadi penghiburan.
            Inilah yang dilakukan Rasul Paulus dalam hidupnya : ”Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus. Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian. Dan jikalau lain pikiranmu tentang salah satu hal, hal itu akan dinyatakan Allah juga kepadamu. Tetapi baiklah tingkat pengertian yang telah kita capai kita lanjutkan menurut jalan yang telah kita tempuh. Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.” (Filipi 3:13-17).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar