Kekristenan lahir di kawasan Timur Tengah, tapi komunitas-komunitas Kristen di daerah itu terus menyusut. Dari Irak ke Suriah hingga Mesir, mereka Kristen berada di bawah ancaman. Termasuk genosida. Bagaimana iman mereka—termasuk di jemaat gereja Bethlehem—menopang mereka dan bagaimana penurunan jumlah mereka mengubah wilayah tersebut? Artikel panjang ini mengungkapkannya.
Bangku-bangku di Gereja First Baptist Bethlehem terisi cepat oleh aliran jemaat pada Minggu (22/12) malam, beberapa dengan dompet mewah, orang lain dengan sepatu usang dan tas KFC. Mereka yang terlambat harus puas dengan kursi plastik di belakang.
Saat ibadah berlangsung, tangan-tangan terangkat di udara bersama dengan jemaat menyanyikan lagu pujian dan syukur kepada Tuhan. Ibadah dihadiri lebih dari 1.300 orang yang mendengar pesan Alkitab. Mereka menanggapi undangan Kristus.
Di kota yang dipercaya sebagai tempat Yesus Kristus dilahirkan, gereja ini adalah sesuatu yang disebut keajaiban modern. Didirikan di sebuah apartemen dua kamar tidur tiga dekade yang lalu oleh Pastur Naim Khoury, Gereja telah dibom 14 kali selama intifada pertama, berjuang dengan kesulitan keuangan, dan kini menghadapi kasus hukum dengan Otoritas Palestina, yang tidak mengakui mereka sebagai Gereja.
Ribuan orang Kristen di Bethlehem menghadapi perselisihan politik dan ekonomi serupa selama beberapa dekade terakhir. Ini menyebabkan banyak dari mereka melarikan diri dari kota tempat tokoh sentral kekristenan lahir di palungan. Orang Kristen di Bethlehem sempat mencapai 80 persen dari populasi, kini tinggal 20 sampai 25 persen. Namun, Gereja ini menentang tren. Jemaatnya 300 anggota yang kuat dan berkembang.
“Kami berjuang dan berjuang untuk tetap dan tidak menyembunyikan apa yang kita yakini,” kata Khoury, yang selamat dari terjangan peluru di bahunya dari penembak jitu yang tak dikenal, saat di tempat parkir gereja lima tahun lalu. “Sudah waktunya bagi mereka untuk menyadari bahwa kita di sini. Tidak ada cara bagi kita untuk menutup gereja dan pergi ke tempat lain … Kami membuktikan diri di sini dengan bantuan Tuhan bahwa kita di sini untuk tinggal sampai Tuhan datang kembali.”
Iman gigih Khoury adalah sesuatu yang juga banyak dimiliki orang Kristen—tidak hanya di sini di Tanah Suci, tetapi di seluruh Timur Tengah. Dua ribu tahun setelah kelahiran Yesus, orang Kristen berada di bawah ancaman serangan besar yang meningkat setiap abad. Ini mendorong beberapa orang untuk berspekulasi bahwa salah satu dari tiga agama besar dunia ini bisa lenyap seluruhnya dari wilayah tersebut dalam satu atau dua generasi mendatang.
Dari Irak, yang telah kehilangan setidaknya setengah dari orang-orang Kristen yang selama satu dekade terakhir, kita ke Mesir dan melihat serentetan kekerasan anti-Kristen terburuk selama 700 tahun pada musim panas ini. Lalu, di Suriah, tempat para jihadis membunuh orang-orang Kristen dan mengubur mereka di kuburan massal. Para pengikut Yesus selain menghadapi kekerasan, juga menghadapi jumlah gereja yang menurun dan terpecah-pecah. Orang Kristen kini hanya mencapai lima persen dari populasi Timur Tengah, turun dari 20 persen pada abad lalu. Banyak orang Kristen Arab marah bahwa Barat tidak berbuat lebih banyak untuk membantu.
Meskipun banyak orang Muslim dibesarkan dengan teman-teman Kristen, kekuatan politik dan sosial yang kuat telah membuat kebersamaan (Koeksistensi) tersebut semakin lebih sulit. Saat politik Islam mendapat dukungan, orang-orang Kristen sama sekali tidak dapat lagi menemukan perlindungan dalam identitas Arab mereka, bersama dengan tetangga Muslim mereka. Mereka malahan makin terdampar oleh penekanan pada identitas keagamaan. Seruan agar mereka mendapat hak kewarganegaraan yang sama diselingi dengan cerita-cerita dari ekstremis Islam yang memaksa orang Kristen masuk Islam atau membayar pajak selangit. Dan, banyak orang Muslim sendiri juga menghadapi penganiayaan saat pergolakan Arab pada 2011 terus berlangsung di seluruh wilayah dan negara-negara yang berusaha menemukan keseimbangan antara kebebasan dan stabilitas.
“Apa pun yang terjadi, sangat sulit untuk mengembalikan kondisi seperti dahulu,” kata Fiona McCallum, pakar Kristen Timur Tengah di University of St Andrews di Skotlandia.
Sejak Abad Pertama
Yang pasti, orang Kristen telah dihadapkan masa sulit sebelumnya hingga sekarang, dari pembunuhan pengikut langsung dari Yesus Kristus pada abad pertama hingga penindasan kaum Mamluk terhadap orang Kristen sejak abad ke-13, juga munculnya aktivitas militan Islam di Mesir pada 1970-an. Prajurit dari Eropa yang membawa nama Kristus juga harus bertanggung jawab atas kekerasan antaragama mengerikan selama Perang Salib Pertama pada tahun 1099, ketika orang-orang Kristen mengambil alih Yerusalem dan membantai hampir semua warga kota.
Peristiwa-peristiwa ini adalah bukti lain surutnya sejarah Kristen di Timur Tengah. Jelas orang Muslim dan Kristen, saat mereka dalam posisi minoritas, cenderung akan terpengaruh oleh penurunan lanjutan.
Orang Kristen secara tradisional menjalankan beberapa sekolah terbaik di kawasan itu, menjadi pedagang, dan membawa pengaruh moderat kepada masyarakat dan politik. Untuk itu tidak hanya orang Kristen dan aktivis hak asasi manusia saja yang melobi untuk pelestarian komunitas ini, tetapi beberapa pemimpin Muslim juga.
“Perlindungan terhadap hak-hak orang Kristen Timur Tengah adalah kewajiban, bukan sekadar kerelaan,” kata Raja Yordania, Abdullah pada September 2013, saat ia berbicara kepada para delegasi pada konferensi yang disponsori istana tentang “Penganiayaan Kristen Arab”. “Orang Kristen selalu memainkan peran kunci dalam membangun masyarakat kita dan membela bangsa kita.”
Saat angin malam menyapu ibukota Yordania, Amman, puluhan pengungsi Irak keluar dari Paroki Hati Kudus, menyentuh atau mencium salib dalam perjalanan mereka keluar.
Di antaranya adalah Mofed, seorang Kristen Arab yang baru-baru ini melarikan diri dari kekacauan di negeri asalnya. Setahun lalu, Mofed—seperti pengungsi lainnya, hanya akan memberikan nama depannya karena takut diserang kelompok ekstrem—menjalankan toko foto di Baghdad. Lalu suatu hari beberapa orang datang ke toko dan memberinya tiga pilihan: menjadi Muslim, membayar pajak (jizyah) $ 70.000 (Rp 858 juta)per kapita dikenakan pada non-Muslim, atau dibunuh, bersama dengan keluarganya.
“Anda membayar, atau terbunuh,” kata istrinya, Nuhad. “Tidak ada pilihan lain. Jika Anda mengatakan, ‘Ya, saya akan menjadi Muslim,’ tidak ada masalah. Itu adalah tujuan mereka, Anda menjadi mualaf.”
Mofed dan Nuhad memutuskan untuk melaksanakan pilihan keempat: melarikan diri dari tanah air mereka, membawa tiga anak mereka bersama mereka. Keputusan mereka adalah simbol dari hal-hal yang telah dilakukan sekitar setengah juta orang Kristen sejak invasi di bawah pimpinan AS ke Irak pada 2003 dan perang saudara brutal berikutnya di sana. Selama waktu itu, ekstremis Muslim telah menyerang lebih dari 60 gereja Kristen di kawasan Timur Tengah. Ini termasuk pada 2010 saat kelompok yang terkait Al Qaeda menyerang Gereja Bunda Sang Juruselamat yang menewaskan 58 jemaat.
Perkembangan kelompok jihad setelah jatuhnya Saddam Hussein, ditambah dengan kebangkitan Islam politik, telah membuat lingkungan yang sudah tegang bahkan lebih tak tertahankan bagi komunitas Kristen di negara itu. Padahal, komunitas Kristen telah menjadi bagian dari masyarakat Irak selama lebih dari 1.900 tahun.
Walaupun banyak umat Islam telah melarikan diri dari kekacauan di Irak juga, proporsi pengungsi Kristen tidak proporsional. Empat tahun perang Irak, orang-orang Kristen—5 persen dari populasi di Irak sebelum perang—menyumbang 15 sampai 18 persen dari pengungsi Irak yang terdaftar di negara-negara tetangga, menurut Palang Merah Internasional. Saat ini, kurang dari 500.000 orang Kristen tetap berada di Irak dari populasi sebelum perang dari 1.000.000-1.400.000.
Kristen Suriah
Orang Kristen di Suriah mengkhawatirkan hal yang sama bisa terjadi di negara mereka. Di Suriah, perang saudara telah menyebabkan kenaikan kelompok militan, beberapa yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Banyak jemaat yang pernah membanggakan diri menjadi bagian dari salah satu komunitas Kristen paling aman di Timur Tengah sekarang menghadapi penculikan atau kematian. Militan Muslim menargetkan bisnis Kristen juga. Dalam beberapa bulan terakhir, para jihadis telah melakukan serangan terhadap kota Maaloula, tempat banyak warga masih berbicara bahasa Aram, bahasa Yesus.
Athraa, seorang ibu muda Suriah, mengungsi dari desanya di perbatasan Suriah-Irak dengan suami dan dua anak laki-laki untuk menghindar dari bahaya.
“Kami perkirakan, yang telah terjadi di Irak terjadi di Suriah juga,” katanya, berbicara di apartemen sederhananya di Amman. Kopernya bergoyang-goyang di atas lemari rusak.
Sebelum pemberontakan pecah pada Maret 2011, para ahli memperkirakan bahwa orang Kristen mewakili lima sampai delapan persen dari penduduk Suriah yang 22 juta orang. Patriark Suriah dari Gereja Katolik Yunani Melkite baru-baru ini menyatakan bahwa sebanyak 450.000 dari dua juta pengungsi Suriah saat ini adalah orang Kristen, meskipun angka tersebut sangat bervariasi dan sulit untuk dikonfirmasi.
Mesir
Walaupun di Irak dan Suriah adalah tempat kemungkinan terjadi kekerasan yang paling buruk, namun sebenarnya kekerasan ini telah meluas, beberapa serangan anti-Kristen yang paling terkonsentrasi tahun ini memang terjadi di Mesir. Ini menjadi perhatian khusus bagi orang Kristen di tempat lain di wilayah ini. Sebab, penduduk Kristen Mesir, sekitar sembilan juta, adalah populasi Kristen terbesar di Timur Tengah. Keruntuhan Gereja di sana akan sangat menurunkan semangat orang-orang Kristen.
Orang Kristen Mesir, 10 persen dari populasi, menghadapi pembatasan keras untuk membangun atau merenovasi gereja-gereja. Warga Kristen mengatakan bahwa mereka sering menghadapi diskriminasi di sekolah dan tempat kerja. Serangan terhadap orang Kristen dan tempat ibadah mereka meningkat di tahun-tahun terakhir pemerintahan Hosni Mubarak, yang digulingkan dalam pemberontakan Januari 2011.
Saat kelompok Islamis memperluas kekuasaan mereka setelah kejatuhan Mubarak, banyak orang Kristen mengatakan ancaman dan serangan telah menjadi berlipat ganda, terutama setelah pemilihan Mohamed Morsi sebagai presiden. Tapi, kekerasan tidak berkurang setelah Morsi dan Ikhwanul Muslimin telah dihapus dari kekuasaan pada musim panas ini oleh pihak militer. Banyak Islamis menyalahkan orang Kristen. Orang Kristen dituduh mendukung kudeta. Dan, pendukung Morsi marah menyerang puluhan gereja di seluruh Mesir pada Agustus.
Samuel Tadros, penulis Motherland Lost: The Egyptian and Coptic Quest for Modernity, menyebut hal itu sebagai serentetan aksi kekerasan terburuk untuk Mesir Koptik sejak abad ke-14.
Bukan hanya orang Kristen yang peduli. Sheikh Ali Gomaa, Mufti Agung Emeritus dari Mesir dan salah satu dari empat ulama Muslim senior yang menghadiri konferensi Kristen Arab di Amman musim gugur ini, mengecam serangan dan penganiayaan terhadap gereja, dan penghinaan terhadap orang-orang Kristen di Mesir.
“Ini adalah pelanggaran besar tidak hanya pada tingkat kemanusiaan, tetapi pada tingkat Islam juga,” katanya. “Ini adalah tugas kita untuk menghilangkan kepahitan ini dan ketegangan, yang mengorbankan saudara-saudara kita di Mesir.”
Di tempat lain di Timur Tengah, situasi yang lebih tenang tapi masih sulit bagi banyak orang Kristen. Di Yordania, orang Kristen membentuk tiga sampai empat persen dari negara itu, tetapi memiliki kuota parlemen dari enam persen dan pemerintah yang mempromosikan dialog antaragama. Di Lebanon, populasi Kristen tetap blok terbesar di kawasan ini dalam hal persentase, dengan sekitar 36 persen, dan Kristen dijamin setengah kursi di parlemen oleh hukum.
Kristen Gaza
Di Gaza, terdapat kurang dari 2.000 orang Kristen. Militan Muslim telah mengebom gereja, membunuh orang Kristen terkemuka, dan memaksa mereka masuk Islam. Di Tepi Barat, orang-orang Kristen Arab lebih baik daripada banyak di beberapa bagian wilayah itu apalagi Gaza, tetapi hanya sekitar 50.000 tinggal di sana—sekitar dua persen dari populasi, turun dari 10 persen pada 1920. Sebagian besar perubahan itu, karena pertumbuhan yang lebih cepat jumlah Muslim daripada penurunan aktual dalam total jumlah orang Kristen.
Satu pengecualian adalah Israel. Di Israel, populasi Kristen telah tumbuh hampir lima kali lipat menjadi 158.000, sejak negara itu berdiri pada 1948. Meski begitu, persentase mereka telah menurun dari sekitar 3 persen menjadi 2 persen. Dan, para kritikus mencatat bahwa keluarga Kristen Palestina yang melarikan diri atau dipaksa keluar sesaat sebelum berdiri Israel, yang menambah persentase orang Kristen Israel. Sebagian besar peningkatan ini disebabkan oleh imigrasi orang-orang Kristen dari bekas Uni Soviet, di bawah hukum Israel yang diperluas, yang menyambut mereka yang beribu Yahudi atau nenek Yahudi dari pihak ibu.
Tapi, ada juga komunitas yang kuat dari orang-orang Kristen Arab Israel—meskipun mereka bukan tanpa tantangan. Di Nazareth, misalnya, Islam berusaha untuk membangun sebuah masjid yang menutupi Gereja Annunciation. Ketika digagalkan oleh Israel, kaum Islamis ngotot membuat banner memproklamirkan ayat Alquran, Surah Ali Imran ayat 85: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
Michael Oren, yang baru-baru ini mengundurkan diri sebagai duta besar Israel untuk Amerika Serikat, mengakui bahwa ada diskriminasi terhadap orang-orang Kristen di Israel tetapi dia mengatakan itu dilakukan oknum dan bukan kebijakan pemerintah. “Jika dibandingkan dengan yang terjadi di wilayah ini, Israel adalah sebuah oase bagi orang Kristen,” kata Michael Oren.”Timur Tengah adalah tempat orang Kristen teraniaya dan tidak ada yang melakukan banyak untuk mengubah keadaan itu.”
Di bawah penguasa Islam seperti kesultanan Mamluk Mesir 1250-1517, orang-orang Kristen—terutama mereka yang pernah menduduki jabatan pemerintah—menjadi korban kekerasan dan diskriminasi. Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) selanjutnya memberikan komunitas Kristen otonomi yang lebih dan itu memungkinkan mereka untuk berkembang di banyak daerah, meskipun ada pengecualian mengerikan seperti pada 1915 saat terjadi genosida Armenia yang menewaskan sedikitnya sejuta orang Kristen Armenia tewas.
Orang Kristen Arab memainkan peran kunci dalam Nahda, atau kebangkitan Arab, dari abad ke-19, yang membantu mendorong Timur Tengah maju setelah berabad-abad mengalami kemunduran di bawah kekuasaan dinasti Ottoman. Orang-orang Kristen pada saat itu memeluk gagasan identitas Arab yang didasarkan pada bahasa dan budaya bersama dan bukan agama. Mereka menjadi ujung tombak munculnya sekolah-sekolah baru dan sangat terkenal dalam lingkaran sastra. Mereka juga pedagang yang sangat sukses.
Tapi kolonialisme Eropa merumitkan dinamika tersebut. Sebab, beberapa kaum Muslim membenci apa yang mereka lihat sebagai perlakuan istimewa pihak Barat kepada orang Kristen. Hal ini memicu ketidakpercayaan dan persepsi bahwa orang Kristen adalah impor Barat daripada masyarakat asli setempat—stereotip yang terus dilawan orang Kristen Arab hingga hari ini. Kecurigaan makin memburuk sejak 2011 pemberontakan meletus di seluruh dunia Arab.
Dr Roggema melihat tiga perbedaan utama antara masalah yang dihadapi umat Kristiani hari ini dan orang-orang dari masa lalu: kelompok jihad memiliki akses ke senjata pada skala amat besar dalam sejarah, propaganda dapat lebih mudah menyebar dari sebelumnya, dan karena keterlibatan Barat di Timur Tengah, komunitas Kristen setempat lebih mudah dituduh loyal ke Barat daripada kepada masyarakat mereka sendiri.
“Ini adalah kesalahan umum sejarah dan logika jika mengklaim bahwa menjadi Kristen sama dengan pro-Barat, tapi kesalahan itu menguntungkan bagi jihadis. Sebab mereka mudah menuduh orang-orang Kristen Timur Tengah tidak milik hak atas tanah mereka sendiri,” katanya.
Nasief Awwad baru berusia tujuh tahun ketika ibunya meninggal, jadi ayahnya—seorang buruh Muslim—memutuskan untuk mendaftarkan dirinya di sebuah sekolah asrama yang dijalankan kaum Kristen Mennonite di kota Hebron, Tepi Barat. Kemudian, Nasief dipindahkan ke Sekolah Menengah Hope Secondary School dekat Bethlehem, sehingga ia tidak hanya menerima pendidikan model Kristen, tetapi juga pengasuhan.
Hari ini, Awwad adalah kepala sebuah perusahaan konstruksi jalan raya utama dan melayani di banyak pemerintah daerah. Pada satu titik, ia menawarkan sebanyak 20 beasiswa universitas setiap tahun untuk mahasiswa berprestasi. Dia memuji pendidikan Kristen sebagai batu fondasi kesuksesannya dan mengatakan ia menikmati mengoreksi kesalahpahaman tentang agama Kristen di antara sesama muslimnya.
“Saya menghargai semua hidup saya… bantuan yang saya terima, pendidikan yang saya dapatkan dari sekolah Mennonite, dari keluarga Mennonite—guru dan [para sponsor di luar negeri] yang membayar untuk pendidikan saya,” kata Awwad, yang mengirim keempat anak-anaknya ke Friends School di Ramallah yang dikelola kaum Kristen Quaker. “Saya tidak melupakannya.”
Keuntungan pendidikan Kristen Awwad menggarisbawahi mengapa banyak yang mengatakan bahwa penting untuk menjaga komunitas Kristen di Timur Tengah. Mereka melihat kualitas sekolah mereka, kontribusi mereka sebagai pengusaha, pedagang, dan konsumen kelas menengah-atas. Dan, pluralitas agama yang mereka bawa sebagai hal penting dan memperkaya masyarakat Arab. Sekarang, sebagai komunitas mereka menyusut atau menjadi makin terpinggirkan, pertanyaan kuncinya adalah apakah pengaruh positif juga akan berkurang?
Di satu sisi, Tepi Barat memberikan contoh bagi masyarakat Arab lainnya yang mungkin terlihat jika emigrasi Kristen terus berlanjut. Di Bethlehem, misalnya, pemilik bisnis Kristen yang pernah mencapai sepertiga yang menggeluti industri batu dan marmer, hari ini mereka tinggal dua persen, kata ekonom Samir Hazboun, yang memimpin Kepala Kamar Dagang Bethlehem. Dalam industri tekstil, mereka pernah mengelola sekitar 80 persen dari bisnis, namun kini sebagian besar telah ditutup.
Orang Kristen juga mengelola lebih baik dalam industri pariwisata. Hari ini, 40 dari 43 hotel di Bethlehem dimiliki oleh orang-orang Kristen, meskipun jarang penuh, dan banyak pemilik toko souvenir juga mengatakan mereka sedang berjuang. Karena tantangan ekonomi, Israel sering disalahkan sebagai penyebabnya, telah membuat banyak orang Kristen—serta Muslim—meninggalkan Bethlehem.
Beberapa mengatakan kualitas pendidikan yang tinggi yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah Kristen tanpa disadari memengaruhi eksodus Kristen—dan dengan itu hilanglah elite terdidik.
“Sekolah-sekolah Kristen yang membantu untuk mendidik orang-orang Kristen di Jalur Gaza dan di Tepi Barat secara tidak langsung, tanpa sengaja, telah mendorong diaspora orang Kristen… dan mereka melakukan itu dengan cara memberikan pendidikan yang berkualitas kepada orang Kristen,” kata Alex Awad dari Bethlehem Bible College sembari menekankan bahwa cakrawala yang lebih luas, bahasa-bahasa Eropa, dan keakraban budaya membantu mereka untuk masuk ke masyarakat Barat. “Itu adalah berkat bagi orang-orang ini, tapi memperburuk masyarakat secara keseluruhan.”
Tetapi orang- orang Kristen yang masih tinggal, aktif dalam masyarakat. Menurut Diyar Konsorsium-Lutheran di Bethlehem, hampir setengah dari pegawai sipil Palestina beragama Kristen, dan lembaga-lembaga Kristen (termasuk gereja) adalah salah satu perusahaan terbesar setelah Otoritas Palestina. Gereja menyediakan lapangan pekerjaan bagi 22.000 orang Kristen dan Muslim.
“Anda akan melihat bahwa orang Kristen punya peran sangat penting di organisasi, yayasan, sekolah, rumah sakit. Mereka sangat berkontribusi dalam perkembangan dan kemakmuran di kota,” kata Walikota Bethlehem, Vera Baboun. Ia juga mengatakan bahwa ia dan rekan-rekan Kristen-nya juga mempertahankan pengaruh yang signifikan dalam Otoritas Palestina. Beberapa menjabat sebagai duta besar dan menteri pemerintah. “Kami adalah bagian dari proses pengambilan keputusan di Palestina.”
Sejauh interaksi tersebut hilang—atau terminimalkan karena adanya penganiayaan, pemisahan, atau tidak adanya penambahan jumlah orang-orang Kristen—para ahli percaya hal itu akan merugikan masyarakat. “Penyempitan kepercayaan sudah terjadi,” kata Nina Shea, salah satu penulis Persecuted: The Global Assault on Christians. “Ada intoleransi dari penganut agama ‘yang lain’ dan itu akan terus terjadi. Bahkan ketika semua non-Muslim telah diusir, dorongan untuk penyeragaman akan terus berlanjut, dan sekte-sekte akan berperang satu sama lain.” [seperti Sunni vs Syiah, Red.)
Di tengah semua penganiayaan dan kekerasan, banyak orang Kristen di Timur Tengah yang mampu bertahan dengan memegang dua hal—iman dan persekutuan mereka dengan orang Kristen lainnya. Hany Sedhom, salah satunya, telah merasakan dukungan yang kuat.
Pada akhir September, Hany Sedhom, orang Kristen paruh baya dari kota Mesir Minya, diculik, dipukuli, tanpa diberi makanan dan air, dan diancam akan dibunuh sementara penculik mendesak keluarga untuk membayar tebusan 300.000 pound Mesir (sekitar Rp 473 juta). Dengan bantuan dari anggota-anggota gereja dan teman-teman Kristen, keluarganya mampu membayar.
“Gereja bertindak sebagai tubuh Yesus. Mereka semua berdoa untuk saya,” kata Sedhom, menceritakan betapa, ketika ia kembali ke rumah setelah dua hari yang mengerikan, anggota gereja dan organisasi keagamaan tempat ia beribadah sedang menunggu di rumahnya dengan keluarganya untuk menyambutnya. “Ini adalah dua hal yang membuat saya bertahan—Tangan Tuhan dan gereja.”
Sedhom adalah salah satu dari sekitar 80 orang Kristen yang diculik di kota Minya sejak “Arab Spring 2011”. Dan, dengan puluhan orang menjadi target penculikan di tempat lain di Mesir. Mereka diculik bukan karena alasan agama, tetapi karena mereka berada dalam posisi masyarakat lemah sebagai minoritas. Mereka tidak memiliki keluarga yang membalas kekerasan seperti banyak Muslim lakukan. Dan, karena komunitas mereka cukup dekat berarti penculik berharap bisa mendapatkan tebusan besar.
Komunitas-komunitas lain telah mengalami juga serangan yang lebih terbuka pada iman mereka, seperti Gereja St Mina di Imbaba, yang diserang beberapa bulan setelah penggulingan Mubarak. Namun, bahkan di sini, para pemimpin gereja mendesak jemaat untuk menghadapi ancaman ini, dengan ‘memberi pipi lainnya’.
Imam kepala, Abanoub Gad membuka Alkitab usang, beberapa bagian disorot dalam warna pink cerah, Matius 5:44, di mana Yesus berkata kepada murid-muridnya, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”Pastor Gad mendorong jemaatnya untuk melatih ajaran itu dalam kehidupan mereka sendiri dan mengingatkan mereka tentang hubungan baik yang mereka nikmati dengan tetangga Muslim mereka dan teman-teman selama beberapa dekade, untuk menekankan bahwa para ekstremis yang menyerang gereja-gereja tidak mewakili mayoritas. Walaupun beberapa ulama memerintahkan umat Islam untuk tidak memberi salam kepada orang-orang Kristen untuk perayaan Kristen, Gad mengatakan dia mengatakan kepada jemaat: “Pergilah merayakan pesta mereka dengan mereka”
Banyak orang Kristen percaya bahwa sentralitas pengampunan dalam ajaran Yesus bisa dapat memainkan peran penting dalam membantu mengurangi kekerasan sektarian di Timur Tengah.
“Kekristenan dapat membawa panutan, pendiri—Yesus, dan murid-murid pribadiNya—yang bukan prajurit, yang tidak mencoba untuk membangun kekuatan politik,” kata Paul Wright, seorang pendeta Kristen Baptis, sarjana Alkitab, dan presiden Yerusalem Universitas college.
Pada akhirnya, banyak yang berpendapat, bahwa ini adalah jenis iman hidup yang akan membuat kehidupan kekristenan di Tanah Suci dan seterusnya. Ini adalah pendekatan yang lebih bergantung pada kualitas dan kesetiaan iman mereka dari pada jumlah penganut—tidak berbeda dengan orang-orang Kristen Purba yang sangat kecil jumlahnya, dan telah dianiaya selama 2.000 tahun yang lalu.
“Kecuali [orang Kristen ] memiliki… insentif spiritual dan moral, maka apakah mereka tinggal di sini atau tidak, itu tidak membuat perbedaan,” kata Profesor Awad dari Bethlehem Bible College. “Saya pikir kami memiliki pemahaman tentang Allah melalui Yesus Kristus yang dapat memberkati seluruh penduduk dan membantu dunia Arab dengan perjuangan yang mereka hadapi.” (SinarHarapan.com dan CSmonitor.com)
Disadur dari:
http://www.kaj.or.id/2014/08/07/7805/apa-yang-terjadi-jika-timur-tengah-tanpa-orang-kristen.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar